Parapuan.co - Siti tak lagi takut pulang malam selepas kerja lembur karena tak akan ada ‘predator’ yang mengincarnya. Begitu juga dengan Aminah yang merasa aman ketika sesi bimbingan skripsi dengan dosennya, tanpa perlu khawatir dilecehkan. Sementara Mawar bisa bernapas lega karena laporan kekerasan seksual yang dialaminya ditangani dengan baik tanpa harus melewati diskriminasi, stigma hingga victim blaming dari aparat hukum. Pelaku pun dengan cepat ditangkap dan disanksi seberat-beratnya hingga membuat mereka jera.
Melindungi Semua Warga Negara
Itulah kehidupan yang diimpikan banyak perempuan jika nantinya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disahkan. Kehidupan yang aman dari predator, adil, tak takut untuk mengadu hingga mendapatkan perlindungan hukum yang tak menyudutkan korban.
RUU TPKS, yang sebelumnya dinamai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), memang pertama kali diinisiasikan tahun 2012 dengan tujuan untuk menciptakan sistem perlindungan bagi korban kekerasan seksual yang bersifat komprehensif bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini agar semua orang bisa bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak. Karena tentu saja, semangat utama dari diinisiasikannya RUU ini adalah membawa perubahan hukum dalam memberikan akses keadilan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
Adapun RUU ini terdiri atas 12 bab dan 73 pasal, yang masing-masing babnya mengatur ketentuan umum, tindak pidana kekerasan seksual, tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. RUU TPKS juga mengatur hak korban, keluarga korban, saksi, pencegahan, koordinasi, pemantauan, hingga peraturan rehabilitasi bagi pelaku.
Namun sayangnya, sembilan kategorisasi kekerasan seksual sempat dipangkas dari draf awal RUU PKS menjadi hanya empat yang dimasukan dalam draf RUU TPKS. Yaitu pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual dan eksploitasi seksual. Sementara bentuk kekerasan seksual seperti pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual, luput dimasukan dalam draf terbaru RUU TPKS.
Terlepas dari polemik yang muncul akibat pemangkasan draf tersebut, kita semua tentu paham bahwa RUU TPKS ini sangat dibutuhkan di tengah situasi darurat kekerasan seksual. Walau masih dibutuhkan penyempurnaan, jika nanti RUU ini disahkan bisa menjadi angin segar dan langkah awal bagi korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan.
Ada beberapa hal yang semakin memudahkan korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan di dalam RUU TPKS ini. Misalnya, akan ada penambahan alat bukti dalam pemeriksaan perkara tindak pidana kekerasan seksual selain yang sudah diatur dalam KUHAP. Yaitu keterangan korban dianggap sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya.
Berbeda dengan sebelumnya, yang mana seperti dijelaskan oleh Mariana Amiruddin, Wakil Ketua Komnas Perempuan, korban kekerasan seksual kerap ‘mentok’ mendapatkan keadilan karena pembuktian yang sulit didapatkan. Sebagai contoh, korban harus melakukan visum, sementara mungkin mereka baru berani menyampaikan kejadian tersebut dua tahun kemudian. Jika hal ini terjadi, maka visum tak bisa dilakukan sehingga bukti pun ikut hilang.
Baca Juga: Kementerian PPPA Siap Susun Daftar Isian Masalah RUU TPKS Bersama DPR RI