Parapuan.co - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) angkat bicara terkait kasus kekerasan seksual di Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM).
Komnas Perempuan menyesalkan berulangnya praktik pemaksaan perkawinan antara korban dengan pelaku perkosaan dan dihentikannya proses hukum oleh pihak kepolisian.
Penyelesaian kasus yang menimpa pegawai Kemenkop UKM ini menunjukkan bahwa kekerasan berlapis yang dialami korban yaitu perkosaan, pemaksaan perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan di dunia kerja.
Pemaksaan perkawinan yang kemudian menjadi alasan dilakukannya penyelesaian melalui mekanisme Restorative Justice (RJ) justru menjauhkan korban dari akses atas keadilan dan pemulihan.
Selain itu, mekanisme tersebut menempatkan korban pada situasi kekerasan, menyebabkan impunitas pada pelaku dan menormalkan kekerasan seksual.
Pemaksaan perkawinan adalah jenis kekerasan seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan.
Kasus pemaksaan perkawinan juga sering dialami oleh perempuan korban kekerasan seksual yang tujuannya adalah untuk menutupi aib kedua keluarga.
Modus perkawinan ini karena korban dan keluarga korban terpojokkan dengan beban menanggung stigma aib akibat perkosaan itu.
Di sisi lain, karena posisi korban yang subordinat sebagai perempuan maupun anak perempuan terpaksa mengikuti keputusan yang diambil oleh keluarga dengan alasan nama baik.
Baca Juga: Kasus Kembali Viral, Ini Kronologi Kekerasan Seksual Pegawai Kemenkop UKM