Parapuan.co- Kawan Puan pasti sudah tahu bahwa Indonesia kini memiliki peraturan yang mengatur permasalahan kekerasan seksual, yakni Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU-TPKS). UU TPKS yang akhirnya disahkan pada Selasa (12/4/2022) lalu ini, tentu ada karena perjuangan para perempuan dan penyintas kekerasan seksual.
Tak dapat disangkal jika pengesahan UU TPKS tidak terjadi hanya dalam waktu semalam. Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah dilakukan sejak 2012 dan masuk dalam Prolegnas di 2016 dan berlanjut pada Prolegnas 2020. Kombinasi antara ketidakadilan gender dan kekosongan hukum di Indonesia, menjadi cikal bakal lahirnya kampanye penghapusan kekerasan seksual yang lebih besar lagi di Indonesia.
Melihat masifnya Gerakan kampanye baik luring maupun daring, Tim Parapuan berkesempatan untuk mewawancarai lima orang Pembela HAM perempuan yaitu: Anindya Vivi, dari Jakarta Feminist inisiator dari Women’s March Jakarta, dan DEMAND; Poppy Dihardjo, pendiri @NoRecruitList dan Influenser; Neqy, pendiri @_perEMPUan_; Monica Devina, dari @dearcatcallers.id; dan Yona dari Samahita Bandung @samahita_bdg. Berikut cerita mereka soal perjuangan mengenalkan narasi penghapusan kekerasan seksual kepada khalayak khususnya lewat media sosial:
Personal is Political
Terbentuknya aksi kampanye anti-kekerasan seksual lewat media sosial, didasari dengan adanya satu kesamaan dari kelima pembela HAM perempuan yang diwawancarai oleh Tim Parapuan, yaitu pengalaman pribadi mereka sebagai penyintas kekerasan seksual. Kelima Pembela HAM perempuan tersebut memahami betul bahwa menjadi perempuan di Indonesia, setidaknya pernah mengalami pelecehan seksual verbal, atau yang popular dikenal dengan catcalling.
Dorongan untuk memiliki wadah untuk belajar dan berbagi cerita sesama penyintas semakin menguat sejak kampanye #GerakBersama menjadi slogan resmi dari gerakan pengesahan UU TPKS. Jaringan #GerakBersama dibentuk pada tahun 2017 di Komnas Perempuan sebagai salah satu inisiasi dari 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP). Saat itu Komnas Perempuan mengajak Pembela HAM yang peduli pada isu kekerasan seksual untuk berkumpul dan merencanakan kampanye bersama. Di sanalah, awal pertemuan Pembela HAM perempuan ini mulai bergerilya di media sosial.
“Dulu aku nggak paham kalau catcalling adalah pelecehan seksual verbal yang sampai saat ini masih banyak terjadi. Oh ternyata ada loh istilah untuk sesuatu yang baru saja aku alami. dan itu pengalaman setiap perempuan, sering disiul-siulin,” ungkap perempuan yang akrab disapa Monde ini.
Melalui konten-konten edukasi tentang kekerasan seksual diharapkan menambah pengetahuan publik untuk mencegah kekerasan seksual terjadi, bahkan mendorong korban kekerasan seksual untuk sintas dan pulih dari traumanya. Poppy Dihardjo, penyintas dan influenser, melalui akun Instagram pribadinya @poppydihadjo ataupun #NoRecruiteList berharap korban kekerasan seksual pada akhirnya berani bercerita tentang traumanya dan tidak merasa sendiri.
“Aku berharap, saat teman-teman penyintas mendengarkan ceritaku, mereka tidak sendiri dan mereka juga bisa ikut menyuarakan juga apapun yang mereka alami," cerita Poppy.
Baca juga: Sosok Poppy Dihardjo, Pencetus Petisi Viral Nama Ibu Boleh Ditulis di Ijazah Anak