Parapuan.co – “Pendidikan tinggi tidak hanya memberi informasi, tetapi juga menyelaraskan kehidupan dengan hal di sekitar”.
Begitulah ucapan Rabindranath Tagore—filsuf sekaligus penulis asal India—mengenai pendidikan tinggi. Adapun pendidikan tinggi yang dimaksud adalah jenjang pendidikan di atas sekolah menengah.
Namun sayang, tidak semua orang memiliki akses yang setara untuk memperoleh pendidikan tinggi, terutama anak perempuan.
Data yang didapat dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah anak perempuan di Indonesia lebih tinggi daripada anak laki-laki. Terutama, angka partisipasi sekolah di usia 13-15 tahun atau SMP dan 15-17 tahun atau SMA.
Data tersebut dapat menggambarkan bahwa perempuan lebih tekun dalam mengenyam pendidikan. Namun, dari total populasi, masih ada 16,09 persen perempuan, atau 2 dari 10 perempuan di Indonesia yang tidak bisa mengakses pendidikan tinggi atau tidak berhasil lulus jenjang pendidikan tersebut.
Apabila menilik data UNICEF, secara global, terdapat alasan mengapa ada perempuan yang tidak bisa memperoleh pendidikan di sekolah menengah bahkan perguruan tinggi. Alasan utamanya adalah kemiskinan dan pandangan sosiokultural yang masih terpengaruh budaya patriarki.
Pada keluarga dengan kondisi perekonomian rendah, misalnya, anak perempuan kebanyakan menjadi pihak yang “direlakan” untuk tidak meneruskan pendidikan karena anggapan mereka cukup perlu menguasai pekerjaan domestik.
Tak hanya itu, masih menurut data BPS, persentase perempuan yang bekerja di ranah formal dan profesional juga lebih sedikit dibanding laki-laki. Pada 2022, laki-laki yang bekerja sebagai pekerja formal dan profesional sebanyak 43,97 persen, sedangkan perempuan 35,57 persen.
Pendidikan adalah hak semua orang
Di sisi lain, pada peringatan Hari Perempuan Internasional 2023, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim menyampaikan bahwa pendidikan adalah hak semua orang, termasuk perempuan.