Parapuan.co - Media sosial memperlihatkan dua wajahnya yang bersitatap. Ini tatkala menguak dua perkara kekerasan pada perempuan, dalam hitungan pekan dan hari-hari belakangan.
Pertama, dalam kategori Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Kejadiannya menimpa perempuan berinisial AD. Video diedarkan bermotif dugaan revenge porn. Ini dilakukan AP, mantan pacarnya. Isi video yang beredar lewat media sosial mengilustrasikan pasangan dalam aktivitas privat. Aktivitas yang tabu diedarkan di hadapan publik. Seluruh keramaiannya terjadi beberapa pekan lalu, di akhir bulan Juni. Hari ini, sedikit demi sedikit duduk perkaranya kian jelas. Kedua pemeran pada video terbuka identitasnya. Juga motif yang melatarbelakangi penyebarannya.
Dalam perkara ini, media sosial berwajah sebagai pembuka aib. Menimbulkan rasa malu AD, orang tua beserta kerabatnya. Tapi juga membongkar motif jahat AP.
Lain pula dengan yang dialami CIN. Perempuan ini mengalami kekerasan, dalam kategori Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pelakunya, sang suami: AT. CIN yang dikabarkan dalam proses pemulihan pasca melahirkan, mendapat tindakan kekerasan berikut bayinya. Nampaknya ini bukan KDRT pertama kali yang dialami CIN. Seluruhnya lantaran AT tak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan CIN, soal isi smartphone miliknya. Dilayangkanlah tendangan maupun pukulan, pada sasaran yang tak semestinya. Kejadiannya baru dalam hitungan hari, seminggu terakhir.
Rekaman yang tersalin dari kejadian itu, tersiar lewat media sosial. Kejahatan terkuak, publik bereaksi, mengundang polisi segera bertindak. Dalam perkara ini, media sosial jadi pahlawan. Berperan membongkar laku keji laki-laki sempit nalar. Juga jadi penampung hujatan pedas, lontaran warga media sosial.
Dalam relasinya dengan urusan perempuan - ini bukan pengetahuan baru - media sosial punya banyak peran strategis maupun taktis. Yang strategis, jadi wadah ide, gagasan, maupun konsep yang dipikirkan perempuan. Sedangkan yang bersifat taktis: media berjejaring ini menyiarkan ekspresi bakat, maupun pencapaian perempuan. Tak jarang gagasan advokasi kesetaraan gender, gerakan mengikis pandangan salah soal perempuan, juga upaya meminta perlindungan atas ancaman kekerasan yang mengintainya, mampu membangun kepedulian jejaring.
Proses perempuan melawan kekerasan, saat media sosial dijadikan platform oleh para penyintas. Seluruhnya mampu menggugah kepedulian publik, seraya membangun perbincangan: kekerasan pada perempuan nyata adanya. Tapi bukan hal yang patut diwariskan dari generasi ke generasi. Dari perbincangan ini terbangun pemahaman, akumulasi sikap, hingga tindakan nyata. Seluruhnya sepakat menolak kekerasan berbasis gender. Tanggung jawab kolektif terhadap kesetaraan gender terbentuk.
Ini contohnya: akun Instagram @Adiityarahmann, menyiarkan ulang video bersumber akun Instagram CIN, dalam upayanya mengirimkan kode permintaan pertolongan. Terdapat upaya CIN melambatkan gerakan video, seraya memberikan “kode 4 jari”. Kode 4 jari diperkenalkan Canadian Women's Foundation, pada April 2020 di Kanada. Arti kode ini: The Signal for Help, mengisyaratkan permintaan pertolongan terhadap ancaman kekerasan dalam rumah tangga. Dengan konten semacam ini, kekerasan dalam rumah tangga terkuak. Juga ditolak.
Katharina Miller, Muhammet Demirbilek, 2023, dalam tulisannya “The Role of Social Media in the Fight Against Gender Violence”, mengonfirmasi peran media sosial di atas. Selain media berjejaring ini punya peran penting dalam wacana promosi kesetaraan gender, membangun pemahaman baru soal perempuan. Juga penting, saat digunakan untuk melawan kekerasan berbasis gender. Lewat media sosial: perempuan membangkitkan kesadaran publik. Ada yang salah di sekitarnya.
Baca Juga: Diduga Dialami Cut Intan Nabila, Ini Cara Mendukung Korban KDRT