Keluarga dan Institusi Tradisional, Pencegah Tersesatnya Gen Z di Belantara Pengetahuan

By Dr. Firman Kurniawan S., Rabu, 4 Desember 2024

Keluarga dan institusi tradisional sebagai pencegah tersesatnya Gen Z di belantara pengetahuan.

Parapuan.co - Pengetahuan sering dikaitkan dengan keadaan baik. Dalam posisinya sebagai kata benda misalnya, pengetahuan punya keadaan berlawanan dari ketaktahuan, kemustahilan, kebebalan. Seluruhnya bersekutu dengan kebodohan. Keadaan tanpa pengetahuan, atau kurangnya pengetahuan. Karenanya agar tak bodoh, nasihat yang lazim diedarkan adalah memperbanyak pengetahuan. Ditempuh lewat belajar, seraya menghindarkan dari keadaan yang buruk.

Terkait pentingnya pengetahuan, Profesor Iwan Pranoto ~Guru Besar Matematika ITB~ memberi judul buku yang ditulisnya tahun 2019, “Kasmaran Berilmu Pengetahuan”. Di dalamnya diulas tentang India, yang mampu mencapai ketersohoran. Seluruhnya akibat tradisi berpengetahuan yang kuat. Yang jika ditelusur, salah satunya, mampu menghasilkan konsep angka 0.

Konsep ini dikembangkan Brahmagupta, Matematikawan dan Ahli Astronomi asal negara itu. Betapa pentingnya angka 0, implikasinya dapat diukur terbalik: tanpanya, ilmu komputer berikut teknologi digital, tak akan pernah dikenal. Tradisi berpengetahuan itu berlanjut hingga hari ini. Tak heran jika CEO maupun penggagas global teknologi berbasis matematika, banyak berasal dari India.

Adapun kasmaran dalam uraian Sang Profesor, menggambarkan keadaan yang tidak sekedar tak menolak, menerima atau menyukai. Kasmaran merupakan tingkat tertinggi relasi, dengan multipihak. Ini dapat diilustrasikan sebagai suka, yang diikuti adanya keterikatan. Dalam konteks kasmaran berilmu pengetahuan, berarti proses disukainya pengetahuan seraya terikat padanya.

Pada manusia, tak ubahnya saat jatuh cinta pada sesamanya. Kehadiran yang dicintainya membahagiakan, dan ketiadaannya menyengsarakan. Ada keinginan selalu ingin terlibat, tanpa sepenuhnya bisa dikendalikan. Dalam pengertian ini, pengetahuan merupakan material maupun substansi yang berharga.

Namun bagaimana jika hari ini pengetahuan hadir tanpa perlu upaya memperolehnya? Pengetahuan terserak, bahkan harus dengan mematikan panca indera untuk menghindar dari kejarannya. Mata yang melihat, telinga yang mendengar, kulit yang meraba, lidah yang merasa dan hidung yang menghirup, seluruhnya mengandung pengetahuan. Utamanya pengetahuan untuk mengkonsumsi. Seluruhnya adalah realitas hari ini. Realitas yang terbentuk akibat kehadiran teknologi informasi dan komunikasi. Berimplikasi pada ledakan produksi pengetahuan.

Dalam Simulacra and Simulations”, Jean Baudrillard, 1994, menjelaskan sebuah konsep yang disebut sebagai implosi. Sebuah keadaan yang terjadi akibat masifnya informasi: meledak ke dalam. Lazimnya, suatu ledakan berakibat bagi lingkungan luarnya. Juga menyambar sekitarnya. Namun pada implosi, ledakan justru berakibat pada sumber ledakannya: informasi itu sendiri. Informasi yang jadi penyebabnya, informasi pula korbannya.  

Proses itu, secara sistematis dijelaskan Baudrillard. Kurang lebih: pertama, media ~di tengah keberlimpahannya~ pada hakikatnya tak menyampaikan apapun. Makna yang seharusnya disampaikan, hilang dan menguap. Seluruhnya terjadi, akibat produksi informasi dari berbagai media informasi yang berlimpah.

Hari ini, dengan tersedianya berbagai platform digital, juga kepemilikannya yang nyaris tak membutuhkan biaya, semua orang, semua komunitas, semua entitas usaha, politik maupun pemerintahan memiliki platform ini. Kepemilikan yang disertai produksi informasi yang simultan. Persoalannya tak semua informasi, alih-alih menciptakan makna. Banyak yang tak bermakna. Terjadi paradoks informasi: miskinnya makna akibat jumlahnya yang berlimpah.

Baca Juga: Gen Z Ingin Cepat Punya Rumah? Hindari 9 Kesalahan Ini saat Mengajukan KPR