Lebih dari Separuh Pekerja Khawatir Kehilangan Pekerjaan karena Teknologi AI

By Arintha Widya, Sabtu, 14 Desember 2024

Banyak pekerja yang khawatir pekerjaannya digantikan AI menurut survei.

Parapuan.co - Tak dapat dimungkiri kehadiran teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bak pisau bermata dua.

Di satu sisi AI sangat membantu pekerjaan manusia, tetapi di sisi lain bisa menggantikan pekerjaan manusia.

Dalam laporan bertajuk Navigating Economic and Security Challenges in 2025, Populix menemukan adanya kekhawatiran terhadap keamanan pekerjaan.

Ini menjadi salah satu dari empat isu utama yang dikhawatirkan masyarakat di tahun 2025 seperti dikutip dari pers rilis survei Populix yang diterima PARAPUAN.

Bila diteliti lebih jauh, salah satu penyebabnya adalah perkembangan pesat teknologi AI yang ditakutkan dapat menggantikan peran mereka di dunia kerja nanti. 

VP of Research Populix, Indah Tanip, menjelaskan, "Isu keamanan pekerjaan diungkapkan oleh 34 persen responden kami."

"Mereka merasa tertekan untuk beradaptasi dengan pekerjaan yang lebih mengutamakan fleksibilitas ketimbang stabilitas," imbuh Indah Tanip.

"Hal ini disebabkan meningkatnya pekerjaan serabutan, pekerjaan kontrak, dan PHK yang membuat banyak orang merasa kurang kendali. Kemudian diperparah dengan teknologi AI yang berkembang dengan sangat pesat," katanya lagi.

Karena berbagai alasan tersebut, sekitar 62 oersen responden pun sepakat mereka merasa terancam akan kehilangan pekerjaan karena digantikan teknologi AI.

Baca Juga: Gemini Academy dan Pengalaman Guru Memanfaatkan AI untuk Pembelajaran

Ada lima alasan utama yang mendasari kekhawatiran ini. Dimulai dari ketakutan digantikan dengan mesin yang lebih baik, akurat, dan terjangkau (72 persen) juga kesulitan bersaing dengan mesin yang mampu bekerja 24/7 tanpa lelah (62 persen).

Kemudian 60 persen responden merasa perkembangan AI yang terlalu canggih bisa menjadi ancaman bagi manusia. 

Hadirnya AI juga dinilai dapat meningkatkan kemiskinan, ketidaksetaraan, dan ketidakstabilan sosial (52 persen).

Faktor kemiskinan didasari oleh ketakutan kehilangan pekerjaan, sedangkan perihal ketidaksetaraan disebabkan hadirnya biaya langganan untuk akses ke versi AI yang lebih mutakhir, yang tentunya tidak dimiliki oleh semua orang.

Hal ini ditegaskan oleh alasan terakhir, yaitu ketidakmampuan untuk bersaing maupun bekerja berdampingan dengan AI karena kurangnya skill, yang diungkapkan oleh 46 persen responden.

Guna menanggulangi risiko ini, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan komitmennya untuk terus mendukung pengembangan sumber daya manusia digital di Indonesia.

Bersama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek), serta Kementerian Kebudayaan, Kemnaker memberikan berbagai kursus juga pelatihan melalui talenthubtalent corner, juga balai-balai yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pelatihan ini diberikan kepada pencari kerja khususnya generasi Z untuk menghadapi dunia kerja digital dan AI.

Saat ini Kemnaker juga sedang menyiapkan regulasi untuk melindungi para pekerja digital di Indonesia.

Baca Juga: Komdigi Siapkan 1 Juta Talenta AI, Menteri Meutya Hafid Ingin Menyasar Perempuan

Hal ini diungkapkan oleh Rici Ronaldo, Sub Koordinator Layanan Pencari Kerja, Pusat Pasar Kerja, Kemnaker, dalam diskusi "Populix Industry Outlook: Navigating Economic and Security Challenges in 2025", Rabu (4/12/2024) di Jakarta.

Rici mengungkapkan, "Kita sedang menghadapi era gig workers dan gig economy, di mana saat ini pekerja-pekerja kita tidak memiliki hubungan kerja yang formal."

"Kemnaker sedang menyiapkan peta jalan (roadmap) dan peraturan perundangan yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan digital juga melindungi para pekerja, termasuk driver ojek dan taksi online, yang selama ini sudah mempermudah hidup kita," terangnya.

"Harapannya seluruh pekerja digital, kemitraan, dan gig workers nantinya tidak hanya diberdayakan, tetapi juga bisa terlindungi," ungkap Rici.

Laporan Navigating Economic and Security Challenges in 2025 disusun dengan menggabungkan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif.

Dimulai dengan enam mini focus group discussion (FGD) untuk menggali tren dan isu secara mendalam.

Lalu dilanjutkan survei kepada 1.190 responden dari seluruh Indonesia untuk memvalidasi temuan dan menentukan tren, sepanjang Agustus hingga September 2024.

Jumlah peserta survei seimbang antara laki-laki dan perempuan, dan meliputi kalangan menengah ke atas.

Selain isu keamanan pekerjaan, laporan Populix ini mengungkap tiga isu utama lainnya, yaitu: keamanan siber (67 persen), keamanan kesehatan (49 persen), dan dampak ekonomi digital (47 persen).

Baca Juga: Wamen Stella Christie Ungkap 3 Konsekuensi Jika Terlalu Bergantung pada AI

(*)