Parapuan.co - Dalam banyak budaya di dunia, termasuk Indonesia, perempuan sering kali diharapkan untuk menjalankan peran ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengelola rumah tangga. Meskipun kesetaraan gender terus diperjuangkan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga justru menghadapi tekanan luar biasa.
Peran ini tidak hanya menuntut kekuatan fisik, tetapi juga ketahanan mental yang luar biasa. Banyak perempuan bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka, entah karena seorang ibu tunggal maupun sebagai istri yang menanggung beban finansial utama.
Tanggung jawab perempuan sebagai tulang punggung keluarga sering kali membawa konsekuensi psikologis yang tidak selalu terlihat. Mereka harus berjuang menghadapi stres finansial, kecemasan, tekanan sosial, serta konflik batin yang muncul dari peran ganda tersebut.
Di sisi lain, masih banyak dari Kawan Puan yang justru terisolasi, kurang mendapatkan dukungan emosional, dan harus menghadapi tantangan mental secara mandiri. Tak jarang, situasi ini pada akhirnya membuatmu merasa frustasi.
Aisya Yuhanida Noor, psikolog menyebut bahwa frustasi muncul karena adanya tekanan terus menerus tanpa adanya apresiasi yang cukup dari keluarga. Oleh karena itu, kamu mulai menyalahkan diri sendiri atau anggota keluarga.
"Marah pada keluarga, marah pada situasi kondisi, dan mungkin juga marah pada diri sendiri yang kita nilai gagal," ujar Aisya dikutip dari Kompas.com. Selain frustasi, masih ada dampak psikologis lainnya yang dirasakan perempuan ketika menjadi sumber penghasilan utama keluarga.
1. Beban Mental yang Luar Biasa
Perempuan yang menjadi pencari nafkah utama cenderung mengalami tingkat stres lebih tinggi dibanding dengan laki-laki dalam peran serupa. Ini terjadi karena perempuan sering kali tetap bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, sehingga beban kerja mereka berlipat ganda.
Beban mental ini muncul karena perempuan harus terus berpikir tentang kesejahteraan keluarga, keuangan, serta keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ketidakpastian finansial dapat meningkatkan kecemasan yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan mental mereka.
Baca Juga: 3 Jenis Gangguan Mental yang Ternyata Rentan Dialami Perempuan
2. Kecemasan Finansial yang Berkelanjutan
Ketika menjadi satu-satunya pencari nafkah, perempuan sering kali merasakan tekanan finansial yang sangat besar. Mereka harus memastikan bahwa kebutuhan keluarga terpenuhi, mulai dari biaya hidup sehari-hari, pendidikan anak, hingga tabungan masa depan.
Tekanan ini bisa menjadi beban mental luar biasa, terutama jika kondisi ekonomi sedang tidak stabil atau jika mereka memiliki pekerjaan yang tidak memberikan jaminan keamanan finansial.
Artinya, perempuan cenderung lebih rentan terhadap kecemasan finansial dibandingkan laki-laki, terutama karena adanya kesenjangan upah dan keterbatasan akses terhadap sumber daya ekonomi. Kecemasan ini dapat berujung pada perasaan tidak aman, sulit tidur, hingga ketakutan akan masa depan yang tidak pasti.
3. Kelelahan Emosional
Melansir dari laman BW Health Care, banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga mengalami perasaan bersalah karena merasa tidak bisa memberikan cukup waktu untuk anak-anak atau anggota keluarga lainnya. Mereka sering kali dihadapkan pada dilema antara bekerja untuk mencukupi kebutuhan finansial dan keinginan untuk tetap hadir dalam kehidupan keluarga.
Kamu lebih sering mengalami kelelahan emosional dibandingkan laki-laki karena tekanan untuk 'selalu ada' bagi keluarga, meskipun mereka sudah lelah dengan pekerjaan. Perasaan bersalah ini sering kali diperparah oleh ekspektasi sosial yang masih menganggap bahwa perempuan harus selalu menjadi sosok utama dalam pengasuhan anak.
Perempuan yang menjadi pencari nafkah utama menghadapi tantangan psikologis kompleks, mulai dari stres kronis, kecemasan finansial, hingga kelelahan emosional terus menerus. Oleh karena itu, kamu perlu mendapatkan dukungan sosial, mampu mengelola stres dengan baik, hingga mencari bantuan profesional apabila dibutuhkan.
Baca Juga: Self-Care di Era Digital: Ini Cara Melakukan Digital Detox Sehari-hari
(*)