Parapuan.co - Dalam setiap hubungan, perempuan sering kali berharap menemukan perlindungan, rasa dicintai, dan kepastian. Namun, tidak sedikit pula yang justru mendapati bahwa cinta yang mereka pelihara berubah menjadi ancaman.
Seperti tragedi pembunuhan yang terjadi di sebuah hotel di Trenggalek, Jawa Timur yang mengguncang kesadaran banyak perempuan. Seorang ibu, berinisial YN, ditemukan tak bernyawa dengan luka-luka kekerasan di tubuhnya.
Di tempat yang sama, anak perempuannya yang masih kecil, berinisial AMN, ditemukan dalam kondisi memprihatinkan setelah diduga menjadi korban penganiayaan.
Dikutip dari Kompas.com, kronologi tragedi ini dimulai dari pelaku, berinisial SE, menghubungi korban YN dan mengajak bertemu di sebuah hotel di Trenggalek. SE juga sengaja membawa anak laki-laki korban, AMN, sebagai cara agar YN mau datang.
Hubungan antara keduanya diketahui penuh konflik, dengan SE disebut-sebut telah memiliki pasangan lain. Setibanya di hotel, terjadi cekcok hebat antara SE dan YN.
Cemburu dan amarah menjadi motif awal, kemudian SE mulai memukuli YN secara brutal. Tak hanya itu, anak korban yang saat itu berada di lokasi juga turut menjadi korban kekerasan fisik. AMN mengalami luka karena ditendang, ditampar, dan dibenturkan oleh SE.
YN tewas di tempat dengan luka memar di wajah dan kepala, tubuhnya juga penuh bekas kekerasan fisik. Sementara AMN, ditemukan dalam kondisi luka-luka dan trauma berat. Ia sempat dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan medis dan psikologis.
Setelah melakukan kekerasan tersebut, SE melarikan diri. Polisi pun, langsung melakukan pengejaran dan menggelar olah TKP di hotel. Berdasarkan keterangan saksi dan bukti CCTV, identitas dan keberadaan pelaku berhasil dilacak.
SE akhirnya berhasil ditangkap kurang dari 24 jam setelah kejadian. Ia langsung ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan berencana dan penganiayaan terhadap anak di bawah umur.
Baca Juga: Menteri PPPA Soal Pemerkosaan di RSHS: Hukuman Tersangka Dapat Ditambah
Proses hukum kini tengah berjalan, dan SE dihadapkan pada ancaman hukuman maksimal sesuai KUHP dan UU Perlindungan Anak.Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pembunuhan dengan unsur perencanaan bisa diancam hukuman maksimal penjara seumur hidup atau hukuman mati.
Namun, dalam praktiknya, perempuan sering kali kesulitan mendapatkan keadilan yang setimpal. Pelaku bisa saja berdalih sedang emosi, merasa dikhianati, atau membela diri. Narasi-narasi ini sering berhasil meringankan hukuman, seolah kekerasan bisa dimaklumi.
Sementara itu, anak-anak korban kekerasan, seperti AMN, nyaris tak mendapat tempat dalam narasi hukum. Padahal menurut Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014), negara berkewajiban memberikan perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan, termasuk trauma healing dan perlindungan psikis jangka panjang.
Penelitian dari National Child Traumatic Stress Network, menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi saksi atau korban langsung kekerasan dalam rumah tangga memiliki risiko tinggi mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD), kecemasan, depresi, hingga kesulitan membentuk relasi sehat saat dewasa. AMN bukan hanya korban kekerasan fisik, tapi juga korban dari sistem yang gagal melindunginya.
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, tahun 2024 juga mencatat bahwa setidaknya ada 1.097 kasus kekerasan pada anak terjadi dalam konteks rumah tangga atau hubungan orang tua. Banyak anak menjadi korban sekunder dari konflik dan kekerasan antarpasangan yang tidak terselesaikan.
Selain itu, anak-anak yang terpapar kekerasan interpersonal cenderung mengalami gangguan regulasi emosi, kesulitan akademik, serta peningkatan risiko perilaku agresif atau menarik diri di kemudian hari. Efek ini bisa berlangsung seumur hidup bila tidak ditangani dengan pendekatan trauma healing yang tepat.
Kita perlu memahami bahwa anak-anak bukan hanya menjadi saksi. Mereka merekam semua kejadian, termasuk rasa takut, panik, dan kebingungan saat menyaksikan orang dewasa berkonflik atau bertindak kekerasan.