Parapuan.co - Kontroversi situs Aisha Weddings yang mempromosikan pernikahan di usia 12-21 tahun, mengingatkan kita akan tingginya angka pernikahan anak yang terjadi di Indonesia.
Dikutip dari Kompas.com (10/02/2021), Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyebut, "perkawinan usia anak di Indonesia itu memang masih tinggi. Di tingkat Asean saja kita masih tergolong cukup tinggi kalau kita melihat perbandingan data dengan negara lain."
Perlu diketahui, pernikahan dini sendiri adalah pernikahan yang dilakukan sebelum mempelai berusia 19 tahun.
Setelah revisi UU Republik Indonesia No. 1/1974 pasal 7, jika sebelumnya minimal usia perempuan 16 tahun kini menjadi 19 tahun yang terdapat pada UU No. 16/2019.
Namun, mencegah pernikahan dini di Indonesia tidak cukup dengan meningkatkan batas minimal usia calon mempelai.
Baca Juga: Peran Orangtua dalam Mencegah Pernikahan Dini, Begini Pendapat Ahli
Ada beberapa alasan yang membuat mengapa pernikahan dini memang seharusnya dicegah.
Meningkatkan risiko kesehatan ibu dan bayi
Perempuan di bawah umur 18 tahun memiliki kondisi tubuh yang belum siap untuk hamil dan melahirkan.
Kondisi yang muncul ketika hamil di usia remaja yaitu:
1. Tekanan darah tinggi.
Hamil pada usia remaja memiliki risiko pada tingginya tekanan darah.
Kondisi ini bisa menyebabkan preeklampsia yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, kandungan protein tinggi dalam urin yang dapat membahayakan organ lain seperti ginjal dan hati.
Baca Juga: Alasan Masuk Akal Depresi Banyak Terjadi pada Wanita, Ini Penyebabnya
2. Ibu meninggal saat melahirkan
Perempuan yang hamil dan melahirkan di bawah usia 18 tahun memiliki resiko lebih tinggi mengalami kematian saat persalinan.
Rentan mengalami masalah psikologis
Belum memiliki kesiapan mental bagi pasangan yang akan menikah dapat menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga.
Ancaman yang terjadi pada perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dapat memperparah kesehatan mental perempuan karena tidak tahu bagaimana keluar dari situasi tersebut.
Selain perempuan yang mengalami KDRT, anak juga berisiko menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga tersebut.
Baca Juga: Bujet untuk Self Love, Begini Tips Ahli Perencana Keuangan Agar Tak Rugi
Anak yang melihat langsung kasus kekerasan dalam rumah tangga bisa tumbuh dengan resiko depresi, gangguan kecemasan dan berbagai kesulitan lainnya.
Memiliki tingkat sosial dan ekonomi rendah
Adanya stigma pernikahan dapat mengurangi beban ekonomi suatu keluarga, menjadikan pernikahan sebagai pilihan untuk keluar dari kemiskinan.
Anak perempuan harus dibekali pendidikan dan wawasan bahwa pernikahan bukanlah suatu paksaan dan bukan solusi untuk keluar dari kemiskinan.
Sehingga, perlu adanya wawasan mengenai keterampilan dalam hidup, pengembangan karir, dan cita-cita bagi anak perempuan.
Baca Juga: Heboh Aisha Weddings, Berdayakan Anak Perempuan Bisa Cegah Pernikahan Dini
Selain itu, pendidikan kesehatan reproduksi secara komprehensif juga penting bagi anak perempuan.
Hal ini dapat membantu mereka untuk mengetahui kesiapan kondisi tubuh dan sistem reproduksi saat nanti akan menikah.
(*)