Parapuan.co - Kacamata kita sebagai penonton dan pendengar pasti melihat industri musik global sebagai dunia yang glamor.
Konser besar, tur radio, lampu di red carpet, dan pakaian yang mencolok seakan hidup para musisi didekorasi oleh hal-hal menyenangkan.
Musisi diidolakan oleh masyarakat sampai menyebabkan histeria. Penggemar dengan sukarela mengeluarkan uang untuk hal-hal yang membuat musisi merasa bahagia.
Namun industri musik juga merupakan selubung misteri yang proses di baliknya asing bagi masyarakat awam.
Gugatan rapper Megan Thee Stallion baru-baru ini terhadap larangan dari label rekamannya untuk merilis musik terbaru adalah contoh masalah industri musik yang tertutupi gemerlap gaya hidupnya.
Dalam kasus tersebut, Megan juga menuntut labelnya yang hanya membayar Megan senilai Rp 200 juta.
Baca Juga: Mengenal Istilah Seksisme, Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
Dengan lebih dari 1 miliar streaming dan menjual lebih dari 300 ribu unduhan, keuntungan yang seharusnya Megan terima adalah sekitar Rp 100 miliar.
Ketidakadilan yang dialami oleh musisi perempuan di industri musik besar ini tidak hanya dialami oleh Megan dan kasus-kasus serupa adalah bentuk nyata dari seksisme.
Pada tahun 2019, Taylor Swift terlibat perselisihan tentang kepemilikan rekaman master musiknya sendiri. Scooter Braun, produsernya, mengklaim enam album pertama dari Taylor Swift.
Taylor Swift mengungkapkan kepada publik bahwa Scooter Braun melarangnya menampilkan lagu-lagu lamanya di American Music Awards 2019, mengklaim bahwa pertunjukan itu akan menjadi tindak ilegal dari musiknya.