Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Ketaknyaman mental yang dialami perempuan ini, pada akhirnya berpengaruh pada persepsi terhadap kebahagiaan yang dialaminya.
Kebahagiaan dipersepsi hadir, manakala peran mengurus keluarga dilakukan secara setara.
Tidak adanya kesetaraan membuka peluang bagi hadirnya berbagai permasalahan. Ini termasuk ancaman kesehatan mental bagi seluruh keluarga.
Penjelasan logis ini, dikemukakan Jill Suttie, 2019, dalam artikelnya “How an Unfair Division of Labor Hurts Your Relationship: Inequality in a Couple Can Impact Everyone's Happiness”.
Ketidaksetaraan peran pasangan, dapat mempengaruhi kebahagiaan setiap orang dalam keluarga.
Baca Juga: Pembagian Peran Domestik yang Baik Bikin Hubungan Pasutri Makin Solid
Pengaruh Teknologi dan Perubahan Peran Perempuan
Hari ini, ketika umat manusia secara massif terpengaruh oleh penggunaan mikroeletronik: handphone, tablet, komputer jinjing yang seluruhnya diberdayakan oleh internet, semua penyelesaian urusan jadi dipermudah.
Termasuk penyelesaian urusan keluarga.
Maka, masih relevankah pembagian urusan sebagai yang publik dengan yang domestik, yang rasional dengan yang emosional?
Pertanyaan ini relevan, sebagai implikasi yang hadir oleh penggunaan perangkat-perangkat elektronis di atas.
Muncul sebuah perabadan baru, yang tak menuntut adanya ruang (space of flows) dan keberadaan waktu (timeless time).
Ini artinya, tak semua urusan harus dilakukan dengan tatap muka, menuntut penyelesaian dari waktu ke waktu, seraya meninggalkan rumah. Semua dapat dilakukan simultan.
Termasuk dalam penyelenggaraan urusan keluarga: menjalankan aktivitas profesional, berbelanja, transaksi perbankan, menikmati hiburan, pemeriksaaan kesehatan, pemenuhan gizi keluarga, bahkan wisata “ke tempat lain”.
Semua dapat dilakukan tanpa beranjak dari rumah.
Baca Juga: Begini Cara Pembagian Peran Suami dan Istri Saat Work From Home
Keleluasaan yang pada gilirannya, memposisikan perempuan berkesempatan menyelesaikan berbagai urusan. Termasuk urusan publik yang rasional.
Hadirnya peradaban baru itu, bahkan bertumpu pada peran perempuan untuk menjalankannnya.
Pentingnya peran perempuan itu, dikemukakan Jordi Borja dan Manuel Castells, 1997, dalam bab “The City of Women”, pada buku Local and Global.
Keduanya mengungkapkan: dengan dipekerjakannya sejumlah besar perempuan, berakibat pada perubahan organisasi kota sehari-hari berikut berubahnya relasi kekuasaan antar jenis kelamin dalam keluarga.
Kondisi baru itu, menuntut kemampuan perempuan mengelola kesulitan yang dihadapi penduduk kota.
Tugas-tugasnya termasuk menangani sistem sekolah, birokrasi kesehatan, belanja mingguan di supermarket, pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur listrik keluarga.
Sementara di daerah perkotaan lainnya, tanggung jawab perempuan untuk memastikan kecukupan air, hingga menjaga kebersihan publik.
Tanpa peran perempuan, daerah perkotaan akan runtuh, mengalami epidemi.
'Feminisasi' tugas-tugas macam itu, tak terkait hukum kodrat kutukan abadi.
Nampaknya itu terjadi, oleh kehadiran teknologi yang membawa keluasaan bagi perempuan.
Masih hendak menyangkal berbagai realitas yang argumentasinya gamblang di atas?
Tentu itu terbawa oleh ketimpangan relasi gender, yang terbangun oleh mitos maskulinitas.
Mitos yang alih wujud jadi toxic masculinity, racun mematikan yang enggan ditanggalkan. Karena dinikmati sebagai candu. (*)