Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Ilustrasinya, Amerika hari ini menempati posisi ke-75 dari 193 negara dalam hal keterwakilan perempuan di pemerintahan. Ini di tengah kenyataan, perempuan adalah penghuni separuh ini dunia.
Lalu, mengapa kebijakan dan pengambilan keputusan hanya dilakukan setengah isi penduduk lainnya? Itu keprihatinan sang Wakil Presiden Amerika.
Selanjutnya, menarik mengikuti pandangan Christina Hoff Sommers. Dirinya mencium munculnya konstruksi baru bernada ancaman terhadap kerentanan perempuan yang berlebihan.
Ancaman ini kemudian jadi tema feminisme yang berkembang di Amerika. Begini uraian Sommers.
“Ancaman bahaya adalah hal yang niscaya. Tetapi dalam ukuran yang masuk akal, wanita Amerika adalah wanita yang paling aman, paling bebas, paling sehat, dan paling kaya peluang di bumi ini.
“Dalam banyak hal, Perempuan Amerika tidak hanya melakukan sebaik laki-laki. Juga melampauinya. Namun sayangnya di mana-mana, terutama di kampus-kampus, perempuan muda diajari bahwa mereka rentan, rapuh, dan terancam bahaya.
“Feminisme baru yang berpusat pada trauma telah berkembang.”
Feminisme yang berkembang saat ini, bukan feminisme yang menjadikan laki-laki sebagai orientasi untuk mencapai kesetaraan. Justru menjadikan laki-laki sebagai ancaman bagi perempuan.
Baca Juga: Inspiratif! Ini Rekomendasi Buku Feminisme dan Kesetaraan Gender Pilihan Emma Watson
Operasi feminisme salah arah ini dibangun lewat narasi: Amerika adalah salah satu dari 10 negara paling berbahaya di dunia, bagi perempuan. Bahkan lebih berbahaya dari Iran maupun Korea Utara.
Uniknya, narasi yang dibangun berdasar survei itu diprakarsai Reuters Foundation. Sebuah lembaga yang punya kredibilitas dalam layanan berita dan informasi global. Senantiasa memperjuangkan kemajuan, kebebasan media, ekonomi inklusif dan promotor bagi hak asasi manusia.
Survei yang dilakukan lembaga sekelas Reuters ini, hanya menyebut ‘persepsi dari ahli’ yang tak disebut namanya.
Lewat narasi ini, etika ketakutan dikembangkan, jadi racun yang mengerdilkan pikiran perempuan.
Baru 4 tantangan yang diuraikan di sini. Dan seluruhnya pandangan perempuan Amerika terhadap perempuan di negaranya.
Namun tak tertutup peluangnya, tantangan yang disebutkan juga jadi tantangan bagi perempuan Indonesia, maupun negara-negara dunia lainnya.
Tak mustahil pula tantangan bagi Perempuan Indonesia, belum seberat di Amerika.
Yang harus dihadapi masih bersifat mendasar: Timpangnya ketersediaan kesempatan belajar, maupun kebebasan beraktivitas, sebagaimana yang dinikmati laki-laki.
Baca Juga: Mereka yang Menciptakan dan Diuntungkan oleh Rasa Insecure Perempuan
Untuk ini semua, ada sebuah buku menarik yang ditulis Nell Scovell dan Sheryl Sanberg berjudul, Lean In: Women, Work and the Will to Lead, yang terbit pertama kalinya di tahun 2013.
Pada intinya buku ini mengajak perempuan untuk tidak ragu dalam memanfaatkan kapasitasnya di tempat kerja maupun rumah. Bahkan ketika itu harus berhadapan dengan laki-laki.
Perempuan di tempat kerja maupun di rumah, punya kemampuan. Dan itu tak mengharuskannya jadi gender kedua (demikian istilah Simone de Beauvoir), lantaran dirinya adalah perempuan.
Hidup memang tak selalu tersedia indah. Tapi juga tak menjerumuskan perempuan dalam nasib buruk.
Kegigihan untuk meraihnya lah yang mengantar, kehidupan macam apa yang bakal dialami perempuan.
Banyak kajian yang menunjukkan bahwa teknologi, yang makin terjangkau dan tak lepas dari genggaman, dapat menyempitkan kesenjangan. Bahkan tanpa Kawan Puan beranjak dari rumah.
Mungkin dari sana lah, itu semua dapat ditempuh? (*)