Tujuan Terkait
Tujuan Lestari terkait

Komnas Perempuan Dorong Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perempuan Pekerja

Linda Fitria - Senin, 1 Mei 2023
Serikat Masyarakat Miskin Indonesia (SRMI) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Jakarta Pusat, Jumat (16/10/2020). Mereka menolak pengesahan omnibus law Undang-undang Cipta Kerja.
Serikat Masyarakat Miskin Indonesia (SRMI) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Jakarta Pusat, Jumat (16/10/2020). Mereka menolak pengesahan omnibus law Undang-undang Cipta Kerja. (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Parapuan.co - Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Bertepatan dengan momen tersebut, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan pesan khusus.

Dalam pesannya, Komnas Perempuan menyoroti beberapa aspek yang menjadi isu para pekerja perempuan di Indonesia.

Di antaranya ialah soal pelindungan bagi keselamatan dan kesehatan pekerja, dengan perhatian khusus pada kerentanan yang dihadapi perempuan pekerja dari diskriminasi dan kekerasan, baik di sektor formal maupun informal.

Di mana pembahasan dan pengesahan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi bagian integral dari pelindungan tersebut. 

Pesan ini selaras dengan tema Hari Buruh Internasional tahun ini yakni World Day for Safety and Health at Work 2023 atau Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Sedunia 2023. 

“Dengan memberikan perhatian khusus pada kerentanan perempuan pekerja, Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau K3 juga perlu dimaknai dengan menciptakan kondisi kerja yang bebas dari diskriminasi berbasis gender dan kekerasan seksual bagi perempuan dan dengan menciptakan pelindungan yang lebih baik bagi pekerja di sektor informal,” jelas komisioner Tiasri Wiandani. 

Sepanjang tahun 2022 terdapat 112 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan pekerja yang diadukan ke Komnas Perempuan.

Sebanyak 58 di antaranya adalah yang dilakukan oleh majikan, termasuk 4 di antaranya dialami perempuan pekerja rumah tangga.

Juga ada sebanyak 11 kasus yang dilakukan perusahaan dan 43 kasus yang dilakukan oleh rekan kerja.

Baca Juga: Hari Buruh 2023, 6 Masalah Pekerja Perempuan yang Masih Jadi Catatan

Catatan Tahunan Komnas Perempuan juga mencatatkan adanya 93 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tempat kerja yang dilaporkan ke berbagai lembaga layanan dan 859 kasus terkait Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). 

Pada kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan, sebagian besar adalah kasus terkait kekerasan seksual dan terkait kesulitan mengakses hak kesehatan reproduksi dan maternitas perempuan pekerja.

Pengalaman pada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan itu dapat memengaruhi kesehatan mental dan fisik perempuan pekerja sehingga menghalanginya untuk bekerja secara optimal atau bahkan menyebabkannya kehilangan pekerjaan. 

“Pembahasan dan pengesahan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga juga penting menjadi prioritas DPR dan Pemerintah pada sidang berikutnya sebagai langkah sungguh-sungguh untuk meneguhkan K3,” jelas Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan.

Saat ini belum ada payung hukum yang dapat menjangkau sektor pekerja rumah tangga yang mayoritasnya adalah perempuan.

UU Ketenagakerjaan tidak memuat sektor informal, sementara UU Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) hanya mencakup sebagian pengalaman pekerja rumah tangga ketika mereka tinggal satu atap dengan majikannya.

“Kita tidak dapat mengandalkan Perpu Cipta Kerja untuk memberikan pelindungan bagi perempuan pekerja di sektor formal dan apalagi di sektor informal seperti pekerja rumah tangga,” imbuh Andy.  

Kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa muatan dari UU Cipta Kerja yang diadopsi di dalam Perpu Cipta Kerja tanpa perbaikan.

Akibatnya, perempuan pekerja justru semakin rentan mengalami eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan. 

Baca Juga: 5 Poin Bermasalah UU Cipta Kerja yang Dituntut untuk Dicabut di Hari Buruh 2023

Sebagaimana diketahui, pada 30 Desember 2022 DPR dan Pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Pengesahan ini mendapatkan kritik karena terkesan terburu-buru dan terkurung pada partisipasi prosedural. 

“Proses pembahasan yang kurang partisipatif dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi pada permohonan uji formil UU Cipta Kerja telah berdampak secara substantif pada pelindungan hak-hak konstitusional pekerja, khususnya perempuan pekerja,” pungkas komisioner Tiasri Wiandani. 

Selain itu, Komnas Perempuan juga mengingatkan pentingnya pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 75/PUU-XX/2022 tentang Permohonan Uji Materiil terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “tugas dan tanggung jawab negara terhadap para pekerja rumahan dapat dilakukan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah."

"Hal tersebut seyogyanya segera dilakukan sebagai upaya dari negara yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan pelindungan dan kesejahteraan kepada para pekerja rumahan sebagai bagian dari kebijakan strategis dalam upaya memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat.”

Seperti juga pekerja rumah tangga, sektor pekerja rumahan juga terbanyak diisi oleh perempuan.

Dalam pandangan Komnas Perempuan, pernyataan Majelis Hakim Mahkamah Konsitusi tersebut mempertegas pentingnya kebijakan khusus bagi perempuan pekerja.

Khusunya di sektor pekerja rumahan yang dapat diwujudkan oleh pemerintah pusat melalui kementerian terkait serta pemerintah daerah guna memenuhi amanat konstitusi dalam pemenuhan hak warga negara, dan hak pekerja, serta hak bebas dari diskriminasi dan kekerasan di Indonesia. 

Baca Juga: Hari Buruh 2023, Simak Pengertian dan Siapa Saja yang Termasuk Buruh

(*)

Penulis:
Editor: Linda Fitria

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.