Soroti Pemberlakuan UU KIA, Komnas Perempuan: Undang-Undang Ini Riskan

Saras Bening Sumunar - Senin, 15 Juli 2024
Komnas Perempuan turut menyoroti UU KIA.
Komnas Perempuan turut menyoroti UU KIA. shutter_m

Parapuan.co - Komnas Perempuan turut menyoroti Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak.

Pihak Komnas Perempuan bahkan memberikan catatan kritis tentang UU KIA pada seribu hari pertama kehidupan, yang telah disahkan pada 4 Juni 2024 lalu.

Pemerintah memiliki andil yang cukup besar terutama dalam fase 1.000 hari pertama kelahiran, termasuk dalam upaya memberikan dukungan perempuan di masa kehamilan dan setelah melahirkan.

Andy Yentriyani, selaku Ketua Komnas Perempuan menyebut bahwa UU KIA sangat riskan dan tidak memiliki daya implementasi.

"UU ini riskan tidak memiliki daya implementasi," ucap Andy Yentriyani sebagaimana mengutip dari siaran pers Komnas Perempuan.

Pernyataan Andy Yentriyani ini didasarkan pada pencermatan Komnas Perempuan bahwa telah ada sejumlah undang-undang pemerintah mengenai kesejahteraan ibu dan anak.

Termasuk UU Ketenagakerjaan yang bahkan tetap berlaku meski adanya UU KIA.

Belum lagi persoalan struktural yang menyebabkan kewajiban individual yang diatur dalam UU itu tidak dapat dilaksanakan, misalnya dalam hal penyediaan gizi seimbang di dalam keluarga miskin.

Baca Juga: Cuti Melahirkan sampai 6 Bulan di UU KIA, Berlaku untuk Siapa?

"Peningkatan daya koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau KPPPA menjadi kunci dari implementasi UU ini,” tambahnya. 

Kecenderungan UU KIA Terhadap Peran Domestik Perempuan

Hal lain yang ternyata juga menjadi perhatian Komnas Perempuan adalah adanya kecenderungan UU KIA tentang perspektif peran domestik perempuan.

Menurut Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan mengatakan pembekuan peran domestik perempuan ini ditunjukkan dalam perumusan hak ibu dan ayah.

Pengaturan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat 1 poin H UU KIA.

"Sementara Undang-Undang ini mendorong pelibatan lebih aktif dari pihak laki-laki. UU ini hanya menyebutkan hak atas pendidikan pengembangan wawasan pengetahuan dan keterampilan tentang perawatan pengasuhan, pemberian makan dan tumbuh kembang anak sebagai hak ibu, dan tidak menjadi hak ayah," ujar Komisioner Alimatul Qibtiyah.

Alimatul mencontohkan kecenderungan pembakuan peran domestik perempuan, salah satunya melalui pemberian hak cuti pengasuhan anak yang lebih panjang bagi perempuan dibandingkan laki-laki.

Pemberian hak cuti pengasuhan anak yang lebih panjang bagi perempuan merupakan contoh konkret dari pembakuan peran domestik perempuan.

Baca Juga: Sulitnya Tafsiran Kondisi Khusus dari Undang-Undang KIA pada 1000 Hari Pertama Kehidupan

Cuti untuk Ibu dan Ayah

Sebagaimana diketahui UU KIA mengatur cuti pekerja perempuan karena hamil dan melahirkan hingga 6 bulan, dari 3 bulan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Sementara itu, cuti untuk suami atau ayah hanya bertambah dari 2 hari menjadi mungkin tiga hari atau sesuai kesepakatan. 

Cuti perempuan dilengkapi dengan skema penggajian, sedangkan cuti bagi laki-laki menyisakan pertanyaan terkait skema penggajiannya, karena dalam UU Ketenagakerjaan hanya disebutkan dua hari.

"Perlu ada reorientasi dalam pelaksanaan UU KIA ini agar pelibatan aktif ayah untuk mendorong kesetaraan gender dalam peran orang tua betul-betul terwujud," ujarnya.

Dari penjelasan tersebut, implementasi UU KIA masih rancu karena soal hak cuti ini tidak bisa digunakan selama enam bulang langsung, lantaran cuti wajib tetap tiga bulan dan kondisi medis tertentu untuk tiga bulan berikutnya.

Dalam artian UU Ketenagakerjaan masih menjadi rujukan oleh pemberi kerja untuk cuti melahirkan.

Baca Juga: RUU KIA Disahkan, Bagaimana Nasib Buruh Perempuan? Simak Penjelasannya!

(*)



REKOMENDASI HARI INI

Soroti Pemberlakuan UU KIA, Komnas Perempuan: Undang-Undang Ini Riskan