Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Hidup di zaman data sebagai “minyak baru” dan kumpulannya yang senilai hamparan tambang emas, menuntut perspektif pada data yang berbeda. Juga perilakunya yang baru. Hari ini, pemanfaatan perangkat digital yang menghasilkan jejak digital bukan tanda berakhirnya aktivitas. Ini tak sebangun dibanding zaman sebelumnya. Aktivitas kala itu dicatat ruang dan waktunya, diabadikan sebagai dokumentasi. Manakala terdapat keperluan, dokumentasi ditengok kembali. Kedudukannya, jadi bukti sejarah.
Di zaman data adalah hasil - juga tujuan- timbunannya dapat menunjukkan pola tersembunyi. Bahkan yang ditunjukkannya bisa di luar dugaan. Seluruhnya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan keputusan yang jitu. Juga terkuaknya peluang baru.
Sebut saja, sebuah platform layanan video streaming: tahu orang yang menonton binge watching (menonton terus-menerus tanpa terputus hingga sebuah serial berakhir) pada akhir pekan, adalah orang berlatar pekerjaan kreatif. Durasi kerja yang dilalui tak kurang dari 75 jam perminggu. Juga, orang-orang ini adalah konsumen kopi kekinian, sekaligus penggemar burger cepat saji.
Hasil analisis di atas, memang dapat diperoleh dari survey yang dilakukan dengan penelitian konvensional. Bahkan prosesnya dapat dipercepat, lewat pengiriman kuesioner digital. Namun dengan data bersumber jejak digital multiplatform, hasilnya lebih merepresentasikan realitas. Bahkan sisi-sisi yang sebelumnya tak nampak, jadi tampil. Fakta penonton binge watching adalah penggemar burger dari gerai multinasional, - bahkan mungkin adalah penggemar kucing berwarna oranye - tak mudah ditunjukkan oleh penelitian konvensional.
Hasil ini memadukan keragaman data satu platform, yang kemudian dipadukan dengan analisis kebiasaan konsumen, dari platform media sosial lain. Seluruh fakta bersumber multiplatform ini, dapat digunakan untuk menyusun program komunikasi. Juga penawaran praktik baru: menonton binge watching, dengan tak lupa memberi makan kucing oranye.
Selain mekanisme perlakuan, nilai data juga ditentukan oleh komposisinya yang beragam. Memotret dunia dari jejak digital, dapat terepresentasi sebangun saat seluruh unsur-unsur pembentuknya termuat. Dunia yang dalam kealamiahannya terdiri dari laki-laki dan perempuan, hidup di kawasan urban maupun rural, memiliki aneka tingkat pendidikan, keragaman status sosial maupun ekonomi. Juga orientasi politik maupun kecenderungan budaya yang bernuansa. Seluruhnya harus terepresentasi oleh data, agar identik penggambarannya. Keberagaman adalah kemutlakan.
Namun keadaan ideal itu tak selalu dapat dipenuhi. Seluruhnya kemudian berimplikasi pada tak terungkapnya keadaan utuh dunia. Ini sejalan dengan pikiran Caitlin Dawson dan Anna Hsu, 2024, dalam ‘Diversifying Data to Beat Bias in AI’. Kedua ilmuwan berlatar belakang ilmu kesehatan ini, membuka tulisannya tentang potensi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang dapat dimanfaatkan untuk merevolusi perawatan kesehatan. Namun ketika pengembangannya tak mempertimbangkan multiaspek, justru dapat memicu munculnya bias.
Misalnya: adanya dokter kulit yang memanfaatkan perangkat pemeriksaan kulit berbasis AI. Namun ketika machine learning diisi data yang mengabaikan keberagaman warna kulit, pemeriksaan hanya menemukan kelainan berdasar data yang ada. AI tak mampu memberikan hasil, ketika datanya tak tersedia. Alih-alih mendeteksi kelainannya, justru memberikan hasil palsu. Ditampilkan seolah tak ada masalah kesehatan.
Baca Juga: Pusat Data Nasional Diretas, Perempuan Paling Rentan Jadi Korban Cybercrime