Fakta Miris: Jurnalis Perempuan Rentan Menghadapi Kekerasan

Tim Parapuan - Jumat, 28 Maret 2025
Jurnalis perempuan berdedikasi dalam menjalankan tugasnya.
Jurnalis perempuan berdedikasi dalam menjalankan tugasnya. Freepik

Parapuan.co - Menjadi jurnalis perempuan bukan hanya soal menyampaikan berita, tetapi juga menghadapi berbagai risiko yang sering kali tak terlihat oleh publik. Dari ruang redaksi hingga lapangan, mereka harus berhadapan dengan pelecehan, ancaman, bahkan kekerasan fisik yang dapat mengancam nyawa.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2022, dari 852 orang jurnalis perempuan di 34 provinsi, 82,6% jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual disepanjang karier jurnalistik mereka.

Tak hanya itu, dalam rilisan lain dari AJI tahun 2024, ditemukan 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis, beberapa diantaranya dialami oleh perempuan. Fenomena ini juga kerap terjadi pada jurnalis perempuan di seluruh dunia, dan menjadi perhatian global karena meningkatnya ancaman terhadap kebebasan pers dan hak asasi manusia.

Hasil riset dari UNESCO dan The International Center for Journalists di tahun 2020, menunjukkan 73% dari 900 orang jurnalis perempuan di 125 negara pernah mengalami kekerasan diranah digital. Hal ini menunjukkan perempuan yang berkerja lapangan seperti jurnalis, rentan mengalami terhadap kekerasan yang bermacam-macam.

Salah satu contoh kasus di Afganistan, setelah Taliban kembali berkuasa pada Agustus 2021, kebebasan pers di Afghanistan mengalami kemunduran drastis. Laporan Reporters Without Borders (RSF) menyebutkan bahwa lebih dari 60% jurnalis perempuan kehilangan pekerjaan akibat aturan ketat yang membatasi perempuan bekerja di media.

Mereka yang tetap bekerja sering menghadapi pelecehan, ancaman pembunuhan, atau penangkapan. Pada tahun 2022, Taliban memberlakukan larangan bagi jurnalis perempuan untuk tampil di televisi tanpa mengenakan cadar, membatasi ruang gerak mereka dalam dunia jurnalistik.

Jurnalis perempuan sering kali menghadapi kekerasan fisik dan seksual karena berbagai faktor, termasuk bias gender, lingkungan kerja yang tidak aman, serta kurangnya perlindungan hukum yang memadai.

Baca Juga: Ketiadaan Perempuan di Susunan Pengurus Danantara: Refleksi Ketimpangan Gender di Indonesia

 

Profesi jurnalisme yang kerap menuntut investigasi isu-isu sensitif, seperti korupsi, hak asasi manusia, atau kekerasan berbasis gender, membuat jurnalis perempuan menjadi target empuk bagi pihak-pihak yang merasa terancam dengan pemberitaan mereka.

Selain itu, norma sosial dan budaya di banyak negara, termasuk Indonesia, masih memandang perempuan sebagai sosok yang lebih lemah, sehingga pelaku merasa memiliki kekuatan untuk menekan atau mengintimidasi mereka. Di lingkungan kerja, jurnalis perempuan juga menghadapi pelecehan dari rekan kerja, atasan, hingga narasumber yang memanfaatkan posisi mereka untuk melakukan tindakan tidak pantas.

Dampak kekerasan terhadap jurnalis perempuan tidak hanya dirasakan secara individu tetapi juga berdampak luas terhadap kebebasan pers dan demokrasi. Beberapa dampak utama antara lain:

- Trauma psikologisKekerasan, terutama yang bersifat seksual atau intimidasi digital, dapat menyebabkan gangguan stres pascatrauma (PTSD), kecemasan, dan depresi.

- Penurunan produktivitas dan kepercayaan diri: Jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan sering kali mengalami penurunan semangat kerja, kehilangan rasa percaya diri, dan bahkan memilih untuk berhenti dari profesi jurnalistik.

- Meningkatnya sensor diri (self-censorship): Banyak jurnalis perempuan yang akhirnya memilih untuk tidak meliput isu-isu sensitif demi menghindari ancaman lebih lanjut.

- Melemahnya kebebasan pers: Jika jurnalis perempuan terus menjadi korban kekerasan, maka keberagaman perspektif dalam pemberitaan akan semakin berkurang, yang pada akhirnya dapat membatasi kebebasan pers dan informasi yang diterima publik.

Untuk mengatasi kekerasan terhadap jurnalis perempuan, diperlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi media, dan masyarakat sipil. Beberapa solusi yang dapat diterapkan antara lain:

1. Peningkatan perlindungan hukum: Pemerintah harus memastikan adanya undang-undang yang lebih ketat dalam melindungi jurnalis perempuan dari kekerasan, termasuk pelecehan seksual dan ancaman digital.

Baca Juga: Sudah Ada Undang-Undangnya, Tapi Kenapa Perempuan Karier Masih Alami Diskriminasi di Tempat Kerja?

2. Memberikan bekal pelatihan di industri media: Perusahaan media perlu menyediakan pelatihan tentang kesetaraan gender, pelecehan seksual, dan cara menghadapi ancaman di dunia jurnalistik.

3. Penyediaan dukungan psikologis: Jurnalis perempuan yang menjadi korban kekerasan harus mendapatkan dukungan psikologis yang memadai agar dapat pulih dari trauma yang dialami.

4. Peningkatan keamanan digital: Mengingat banyaknya kasus kekerasan berbasis daring, jurnalis perempuan perlu diberikan pelatihan keamanan digital untuk melindungi data dan identitas mereka di dunia maya.

5. Solidaritas dan dukungan dari sesama jurnalis: Jaringan jurnalis, baik lokal maupun internasional, harus memperkuat solidaritas dalam membela hak-hak jurnalis perempuan dan memastikan bahwa setiap bentuk kekerasan tidak dibiarkan begitu saja.

Dengan adanya perhatian dan tindakan nyata terhadap perlindungan jurnalis perempuan, diharapkan mereka dapat bekerja tanpa rasa takut dan terus menyuarakan kebenaran tanpa ancaman atau kekerasan yang mengintimidasi.

(*)

Celine Night

Sumber: reporters without borders,UNESCO,Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri

Tag



REKOMENDASI HARI INI

Langkah-Langkah Memaafkan Diri Sendiri dan Mengapa Itu Penting?

Join Us

Tag Popular