Kronologi Kasus Pemerkosaan oleh Dokter Residen di RSHS Bandung

Tim Parapuan - Rabu, 9 April 2025

Parapuan.co - Rumah sakit seharusnya menjadi ruang perlindungan untuk semua orang termasuk perempuan. Namun, anggapan itu dipatahkan oleh peristiwa memilukan yang terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

Kabar ini berawal dari media sosial X, dalam menfess pada akun @txtdarijasputih, yang merupakan akun komunitas khusus profesi kedokteran. Dalam tweetnya, disebutkan bahwa seorang dokter residen dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) diduga memperkosa keluarga pasien.

Berdasarkan kronologi yang beredar di media sosial, tindakan kekerasan seksual dilakukan oleh peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) terhadap seorang anggota keluarga pasien yang tengah menunggu di rumah sakit. Tindakan ini terjadi setelah terduga pelaku memberikan obat bius kepada korban, dengan dalih untuk keperluan prosedur pencocokan (crossmatch) darah antara pendonor dan penerima.

 
 

Setelah itu, korban baru menyadari telah mengalami kekerasan seksual dan segera melaporkan kejadian tersebut. Setelah laporan diterima, proses penanganan dilakukan secara internal dan eksternal.

Pihak Unpad merespons laporan dengan melakukan investigasi cepat dan memutuskan untuk memberhentikan pelaku dari status sebagai peserta PPDS. Mengutip dari Kompas.com, hal ini dikonfirmasi oleh pihak universitas yang menyatakan bahwa sanksi pemberhentian diberikan karena tindakan pelaku telah melanggar kode etik, hukum, dan prinsip kemanusiaan yang mendasar.

Selain pemecatan dari program pendidikan, kasus ini juga telah diproses secara hukum dan ditangani oleh pihak Kepolisian. Pelaku berstatus sebagai terduga dan telah diamankan oleh aparat untuk penyelidikan lebih lanjut.

Perwakilan RSHS Bandung juga menyatakan bahwa mereka menyerahkan proses hukum sepenuhnya kepada pihak berwenang dan menyatakan dukungan terhadap korban. Kasus ini bukan sekadar soal pelanggaran hukum, tetapi tentang pelanggaran moral dan etika paling mendasar, dan tentang perempuan yang tubuhnya dirampas dalam kondisi tak berdaya.

Baca Juga: Pelecehan Seksual di KRL: Kronologi dan Cara Melawan di Ruang Publik

 

Hukuman Pelaku Kekerasan Seksual

Secara hukum, pelaku kekerasan seksual di Indonesia dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS No. 12 Tahun 2022). Dalam konteks ini, tindakan pemerkosaan, yang dilakukan dengan pemberian obat bius, sehingga membuat korban tidak sadar, masuk dalam kategori pemberatan.

UU TPKS membuka jalan baru bagi korban untuk mendapatkan keadilan. Selain hukuman pidana, pelaku bisa dijatuhi sanksi tambahan berupa rehabilitasi, restitusi kepada korban, hingga publikasi identitas pelaku jika diperlukan demi kepentingan umum.

Kasus kekerasan seksual oleh dokter residen ini menegaskan urgensi membangun sistem kesehatan yang tidak hanya fokus pada penyembuhan medis, tapi juga keamanan dan perlindungan terhadap seluruh orang yang berada di dalamnya, terutama kelompok rentan seperti perempuan.

Langkah Pencegahan

Langkah preventif tidak bisa hanya berhenti pada himbauan moral atau pelatihan etika profesi. Rumah sakit dan institusi pendidikan kedokteran harus membangun sistem pengawasan yang nyata dan terukur. Beberapa tindakan yang dapat diterapkan antara lain:

- Pemasangan CCTV di titik-titik rawan, terutama ruang rawat inap dan koridor, dengan tetap menjaga privasi pasien.

 Sistem pendampingan prosedur medis, di mana setiap tindakan terhadap pasien maupun keluarga pasien harus dilakukan dengan kehadiran minimal dua petugas, dan disertai dokumentasi.

 

Baca Juga: Fakta Miris: Jurnalis Perempuan Rentan Menghadapi Kekerasan

- Audit penggunaan obat bius dan alat medis, terutama jika digunakan pada orang yang bukan pasien aktif. Harus ada sistem pencatatan dan pelaporan setiap pemberian obat yang sifatnya invasif.

- Pusat pengaduan kekerasan seksual di rumah sakit, yang mudah diakses oleh pasien dan pendamping. Petugasnya harus dilatih khusus dalam penanganan korban kekerasan.

- Evaluasi psikologis dan asesmen etika secara berkala terhadap peserta PPDS maupun tenaga medis tetap, untuk mendeteksi potensi pelanggaran sejak dini.

Penting pula menghadirkan perspektif gender dalam desain kebijakan rumah sakit, karena keamanan perempuan tidak otomatis hadir dalam sistem yang dibangun tanpa memperhitungkan kebutuhan, pengalaman, dan kerentanannya.

Perlindungan terhadap perempuan bukan tugas individu, tapi tanggung jawab kolektif. Dari lembaga pendidikan, rumah sakit, hingga masyarakat luas. Semua harus mengambil peran agar kepercayaan tidak terus dihancurkan oleh kekuasaan yang disalahgunakan.

 

(*)

Celine Night

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri


REKOMENDASI HARI INI

Kronologi Kasus Pemerkosaan oleh Dokter Residen di RSHS Bandung