Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Mencari dan menerima perhatian, merupakan naluri eksistensial manusia. Sejak bayi lahir - bahkan di periode sebelumnya - perhatian jadi tanda pengakuan keberadaannya. Maka ketika itu tak ada, memunculkan kegelisahan yang tak dinyana.
Masih ingatkah film karya Sutradara Tom Tykwer yang beredar tahun 2006? Judulnya “Perfume: The Story of a Murderer”. Film ini mengisahkan kehidupan Jean-Baptiste Grenouille. Anak yang lahir dari Ibu miskin, penjual ikan di pasar becek Perancis abad ke-18.
Betapa miskinnya, kelahiran yang lazimnya disambut dengan kegemilangan benda-benda dan kegembiraan, tak dipersiapkan Sang Ibu. Grenouille lahir saat Sang Ibu berjualan di pasar. Itupun sambil memotong ikan yang hendak dijajakannya. Kejadiannya sangat cepat, tak ada yang memperhatikan. Menginspirasi Sang Ibu untuk melenyapkan bayi yang baru lahir. Ditinggalnya Sang Bayi begitu saja, bersama kotoran dan sisa potongan ikan di kolong lapak jualannya. Sejak lahir, Grenouille luput dari perhatian. Keberadaannya ditolak.
Namun bukan kemiskinan dan tindakan amoral yang jadi pusat pengisahan. Grenouille yang terabaikan, berkembang jadi genius dalam penciuman. Mengenali, memformulasi dan membuat bau-bauan. Ini kemudian diwujudkan jadi parfum yang dikenakan pada tubuhnya. Saat bau tubuh jadi petanda kehadiran, tubuhnya tak berbau apapun. Harum, sedap, bahkan bau busuk pun tak menguar. Menyadarkan keterabaiannya. Keterabaian yang mendorong perilaku penarik perhatian. Di ujung kisah, Grenouille berhasil memformulasi bau dari ekstrak tubuh manusia. Tentu saja dengan membunuh dulu sumber ekstraknya. Pembunuhan demi pembunuhan berlangsung, agar tercipta parfum dahsyat pengundang perhatian.
Memandang fenomena pencarian perhatian, bahkan hingga tingkat akut semacam film di atas, Wendy Wisner, 2024, dalam “What to Know About Attention-Seeking Behavior”, menyebut: pencarian perhatian adalah naluri manusia. Perhatian memberi rasa dianggap serius, bahkan dicintai. Namun di tingkat akut, dapat menciptakan masalah bagi diri sendiri maupun orang lain. Terutama saat pencariannya digerakkan oleh perasaan rendah diri, kecemburuan, kesepian, atau keadaan gangguan kejiwaan tertentu. Seluruhnya dapat berkembang jadi perilaku yang ekstrem, bahkan histeris.
Salah satu gejala perilaku pencarian perhatian yang dideskripsikan Wisner di atas, dapat diikuti kisahnya pada serial drama TV asal Australia, dan sedang hangat diperbincangkan. Serial itu berjudul “Apple Cider Vinegar”. Drama bergenre kriminal - karya Samantha Strauss dan disutradarai Jeffrey Walker ini - mengisahkan daya upaya Belle Gibson – diperankan oleh Kaitlyn Dever — untuk memperoleh perhatian luas khalayak.
Belle yang dikisahkan berprofesi sebagai influencer kesehatan, teratur memuat konten kisah hidupnya agar terbebas dari kanker otak stadium terminal. Keadaan terminal yang hanya memberinya kesempatan hidup 6 pekan hingga maksimal 4 bulan, sejak disampaikannya diagnosa hasil pemeriksaan. Nyatanya, Belle berhasil sembuh. Kesembuhan yang bukan oleh operasi pengangkatan organ, juga kemoterapi menjinakkan sel. Namun berhasil sembuh berkat pengobatan alternatif: mengkonsumsi makanan dan jus organik. Karenanya, untuk merayakan kesembuhan itu, Belle memuat resep dietnya yang dapat diakses lewat aplikasi dikembangkannya: The Whole Pantry.
Kisah kegigihan Belle menempuh penyembuhan nonkonvensional, berikut kisah penderitaan yang dialaminya meraih simpati jutaan followers. Ini termasuk simpatisan pengidap penyakit sejenis. Kisah Belle membangkitkan inspirasi harapan hidup, tak kenal putus asa. Juga metode alternatif, yang tak selamanya mengandalkan pengetahuan kedokteran konvensional. Salah satu penggemarnya adalah Lucy, penderita kanker payudara yang mulai enggan menjalani pengobatan konvensional.
Baca Juga: Keluarga dan Institusi Tradisional, Pencegah Tersesatnya Gen Z di Belantara Pengetahuan