Parapuan.co - Dalam beberapa hari terakhir, harga emas terutama logam mulia 24 karat mengalami lonjakan yang siginifikan. Harga satu gram emas logam mulia sempat menyentuh angka Rp2 juta.
Situasi ini memicu reaksi spontan dari masyarakat. Banyak orang berlomba-lomba membeli emas, seolah tidak ingin tertinggal dalam memanfaatkan momentum kenaikan harga. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh pergerakan harga terhadap keputusan investasi seseorang.
Alhasil, panic buying menjadi hal tak terhindari untuk mengamankan emas sebagai instrumen investasi dan menjaga kekayaan. Lantas, apa sebenarnya panic buying?
Apa Itu Panic Buying?
Panic buying adalah fenomena saat masyarakat melakukan penimbunan beberapa barang pada situasi darurat tertentu. Biasanya, panic buying didorong oleh beberapa aspek kompleks.
Penimbunan ini terjadi karena adanya dorongan psikologis yang sangat kuat, yakni ketakutan akan kehilangan kontrol terhadap situasi tak pasti. Ketika krisis melanda, banyak orang merasa tidak memiliki kendali atas apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dalam kondisi tersebut, tindakan membeli barang dalam jumlah besar memberikan ilusi bahwa mereka sedang mengambil kembali kendali atas hidup mereka. Selain itu, panic buying juga didorong oleh perilaku meniru (herd behavior), di mana kamu mungkin cenderung mengikuti tindakan orang lain karena merasa bahwa jika orang lain melakukannya, maka itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.
Kenapa Seseorang Panic Buying Membeli Emas?
Di tengah kenaikan harga emas, masyarakat justru melakukan panic buying dalam membeli logam mulia ini. Bukan tanpa alasan, rupanya ada tiga faktor utama yang memengaruhi, yakni:
Baca Juga: Apakah Emas Digital Lebih Menguntungkan untuk Raih Financial Freedom?
1. Kekhawatiran Harga Emas yang Terus Naik
Merujuk dari laman RRI, kekhawatiran bahwa harga emas akan terus naik membuat individu merasa harus segera membeli sebelum terlambat. Ketika inflasi meningkat dan nilai tukar mata uang domestik cenderung melemah, daya beli masyarakat otomatis menurun.
Dalam situasi seperti ini, emas seringkali dipilih sebagai alat pelindung nilai atau kekayaan terhadap inflasi karena nilainya yang relatif stabil dalam jangka panjang.
Meskipun harga emas sedang tinggi, banyak orang tetap melakukan panic buying karena kekhawatiran bahwa nilai uang tunai yang disimpan justru akan tergerus inflasi, sehingga lebih baik dialihkan ke dalam bentuk logam mulia.
2. Dipersepsikan sebagai Aset Safe Heaven saat Krisis
Di saat ketidakpastian ekonomi global, inflasi tinggi, konflik geopolitik, ataupun ancaman resesi, emas dipandang sebagai aset safe haven yang dapat menjaga nilai kekayaan seseorang ketika aset-aset lain mengalami depresiasi.
3. Faktor Psikologi Berupa Dorongan Sosial
Manusia secara alami memiliki dorongan untuk mengontrol hal-hal di sekitarnya, terutama saat menghadapi kondisi yang penuh ketidakpastian. Dalam konteks ekonomi atau geopolitik yang tidak stabil, membeli emas dapat memberikan rasa kontrol dan kepastian bahwa setidaknya ada satu hal yang bisa diamankan.
Rasa aman ini tidak hanya berasal dari nilai emas itu sendiri, tetapi juga dari kepuasan psikologis bahwa kamu sudah melakukan tindakan konkret untuk melindungi diri dan asetmu.
Kombinasi tiga faktor ini menciptakan kondisi yang dikenal sebagai panic buying, ketika keputusan membeli lebih didasarkan pada emosi daripada pertimbangan rasional dan analisa yang matang.
Meski demikian, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa emas merupakan salah satu aset yang dianggap paling aman, terutama dalam situasi ekonomi tak menentu seperti saat ini.
Sebagai safe haven, emas memang menjadi pilihan banyak investor untuk melindungi nilai kekayaan mereka dari inflasi, gejolak pasar saham, atau ketidakpastian global.
Baca Juga: Jual atau Gadai Emas Saat Kondisi Darurat? Ini Saran Perencana Keuangan
(*)