Studi Global Save the Children menemukan bahwa dua pertiga atau 63% anak perempuan lebih banyak dibebani tugas rumah, dibanding anak laki–laki (43%).
Hal ini juga relevan dengan pengakuan 23% orangtua yang mengasuh dalam kondisi tertekan karena situasi pandemi, selain 1 dari 8 orangtua menyatakan telah terjadi kekerasan dirumahnya.
Suara anak yang ingin sekolah/madrasah segera dibuka karena takut dikawinkan pun, juga patut menjadi perhatian.
Mengatasi tantangan tersebut, penguatan kemampuan resiliensi (beradaptasi dan bertahan) serta berinovasi dalam proses pembelajaran dan pengajaran dalam sektor Pendidikan sangat diperlukan.
Baca Juga: Ingin Awet Muda Seperti Sophia Latjuba? Yuk Coba Konsumsi Makanan Ini
Upaya memastikan anak dapat tetap belajar tanpa dibatasi sekat ruang kelas melalui model hybrid learning.
Yakni penggabungan model belajar tatap muka atau luring, mandiri mengunakan komputer, maupun secara virtual ataudaring.
Ini harus menjadi model pembelajaran, mengingat banyak sekolah berada di area rawan bencana selain potensi berkembangnya pandemi seperti saat ini.
Hal ini memerlukan dukungan program untuk meningkatkan kompetensi guru, pihak sekolah, dinas terkait, juga memaksimalkan potensi anak dan remaja, orang tua dan keluarga, pengasuh, serta kolaborasi dengan komunitas, mitra pembangunan, swasta, industri, serta seluruh elemen pemerintah.
“Pendidikan sangat penting untuk anak-anak, karena kami yang akan mengembangkan bangsa Indonesia. Indonesia membutuhkan anak–anak yang berkualitas. Jika anak–anak tidak bisa belajar, tidak mendapat Pendidikan yang berkualitas maka Indonesia tidak akan maju,” tegas Stella. (*)