Parapuan.co - Kawan Puan, beberapa pekan terakhir, di Inggris menyeruak isu mengenai rape culture atau budaya pemerkosaan yang terjadi di sekolah-sekolah.
Isu tersebut berkembang setelah muncul berbagai pengakuan anonim yang disinyalir berasal dari para siswi yang menjadi korban.
Melansir dari The New York Times, dikatakan ada sejumlah gadis belia berusia sekitar 9 tahun, dipermalukan oleh teman sekelasnya karena foto-foto intim mereka disebarkan tanpa persetujuan.
Ada pula seorang anak perempuan yang disalahkan teman-teman sekelasnya lantaran melapor bahwa ia diperkosa di sebuah pesta.
Baca Juga: Infrastruktur Tak Mendukung, Perempuan Rentan Alami Kekerasan Seksual di Kondisi Bencana
Melalui platform bernama Everyone's Invited, ribuan perempuan usia belia hingga remaja menceritakan pengalaman mereka tentang rape culture.
Beberapa mengaku pernah mengalami kekerasan seksual, seksisme, serta misogini (kebencian terhadap kaum perempuan) selama mereka menjadi pelajar.
Berbagai pengakuan online tadi seolah menjelaskan betapa budaya pemerkosaan di kalangan siswa di Inggris meluas, dan terjadi di dalam maupun di luar sekolah.
Fakta Sering Diabaikan, Korban Disalahkan
Pendiri Everyone's Invited menegaskan, persoalan ini mesti ditindaklanjuti karena masalahnya tidak main-main.
"Ini adalah permasalahan nyata. Budaya pemerkosaan memang ada," kata sang pendiri Everyone's Invited, Soma Sara.
Mirisnya, hampir semua kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan dibiarkan menggantung tanpa konfirmasi lebih lanjut.
Baca Juga: Kekerasan pada Perempuan Meningkat, Ini Langkah Yayasan Plan Indonesia Mengatasinya
Padahal, kesaksian kuat dari korban dan bukti yang didapat kepolisian sudah cukup untuk menghukum pelaku.
Sayangnya, korban justru dibungkam, disalahkan, dan dianggap telah merusak nama baik dengan perbuatannya yang memalukan.
Pejabat di lingkungan sekolah juga berdiam diri, mengaku sudah berbuat sesuatu, tetapi bisa dibilang sama sekali tidak berusaha memerangi rape culture.
Keseriusan Pihak Terkait Menangani Isu Kekerasan Seksual Nasional
Ironisnya lagi, menyeruaknya isu rape culture ini terjadi di tengah-tengah diperbincangkannya pembicaraan nasional terkait kasus pembunuhan Sarah Everard.
Penculikan dan pembunuhan terhadap Sarah Everard memicu isu nasional kekerasan terhadap perempuan sejak Maret 2021.
Sarah Everard sendiri ialah perempuan yang diculik dan dibunuh oleh oknum polisi di London, Inggris.
Semula, ia dikabarkan menghilang saat berjalan pulang ke rumahnya pada malam hari tanggal 3 Maret 2021.
Melansir CNN, jenazah Sarah ditemukan 80 km dari tempat dirinya diperkirakan terlihat terakhir kalinya, yaitu di Clapham, tak jauh dari rumahnya.
Baca Juga: Tips Hadapi Remaja yang Mulai Membandingkan Hidupnya dengan Teman Sebaya
Pada Selasa, 9 Maret 2021, seorang oknum polisi bernama Couzens ditangkap.
Couzens rupanya sedang berpatroli di area Clapham di hari menghilangnya Sarah.
Kasus ini membuat para perempuan di London berdemo menuntut keadilan.
Mereka juga mempertanyakan bagaimana seseorang yang mestinya melindungi warga, khususnya perempuan, malah menjadi tersangka kekerasan dan pembunuhan.
Perkembangan isu pembunuhan Sarah kemudian membuat para korban kekerasan seksual di sekolah-sekolah berani membuka suara.
The New York Times menyebut, pihak sekolah bersama dengan pejabat lokal dan nasional mulai melakukan penyelidikan menyeluruh di setiap sekolah negeri maupun swasta.
Bantuan juga disiapkan Lembaga Perlindungan Anak, dan setiap tuduhan kriminal segera diselidiki kepolisian, siap untuk diperkarakan. (*)