Isi surat kabar Soenting Melajoe yang didirikan oleh Ruhana diisi oleh penulis perempuan yang sangat mendukung pendidikan bagi perempuan, serta mengkritisi pernikahan dini dan poligami.
Hal tersebut disampaikan oleh sejarawan Susan Blackburn dalam bukunya berjudul Women and the State in Modern Indonesia.
"Seorang kontributor menganjurkan agar perempuan tidak menikah sebelum usia 18 tahun (karena jika tidak, 'kondisi tubuhnya akan cepat merosot' dan 'jika dia melahirkan anak, dia tidak akan tahu bagaimana cara merawatnya')," tulis Blackborn, seperti dilansir The Jakarta Post.
Baca juga: Rupanya, Ini Alasan Perayaan Hari Kartini Identik dengan Kebaya
Dikutip dari dw.com, Rahadian Rundjan juga mengukuhkan pernyataan ini Susan Blackborn.
Rahadian menulis bahwa Soenting Melajoe, menerima tulisan-tulisan dari siswi-siswi sekolah di berbagai wilayah di Sumatra Barat, seperti Payakumbuh dan Pariaman.
Mereka kerap mengkritik budaya patriarki yang saat itu begitu kental di Sumatra Barat, seperti nikah paksa di bawah umur, poligami, dan pengekangan perempuan terhadap akses-akses ekonomi.
Baca juga: Malahayati, RA Kartini, Butet Manurung: Wanita Pejuang Indonesia
"Di bawah asuhan Ruhana, Soenting Melajoe menjadi semacam corong pengetahuan dan emosional kaum perempuan yang selama ini begitu kesulitan menyampaikan pendapatnya akibat terkungkung dominasi laki-laki, baik di ranah privat maupun publik," ujarnya.
Meskipun Soenting Melajoe hanya bertahan Sembilan tahun, dan berakhir di tahun 1921, kiprah Ruhanan di ranah jurnalistik terus berlanjut.
Pada tahun 1920, Ruhana mengelola surat kabar Perempoean Bergerak di Medan bersama jurnalis tersohor di, Pardede Harahap.
Baca juga: Rohana Kudus: Pendiri Media Perempuan Pertama Indonesia yang Jadi Pahlawan Nasional!