Parapuan.co - Kondisi stunting atau gagal tumbuh pada anak sangat terkait dengan gizi penduduk yang buruk dalam periode cukup panjang.
Tanpa penanganan serius akan semakin banyak penduduk yang dewasa dan menua dengan perkembangan kemampuan kognitif yang lambat, mudah sakit dan kurang produktif.
Masa 1.000 hari pertama atau sekitar tiga tahun kehidupan sejak masih dalam kandungan, merupakan masa penting pembangunan ketahanan gizi.
Lewat dari 1.000 hari, dampak buruk kekurangan gizi akan sulit diobati.
Kekurangan gizi pada ibu hamil juga bisa memicu stunting.
Hal ini diungkapkan oleh Sinteisa Sunarjo, Group Business Unit Head Woman Nutrition KALBE Nutritionals seperti rilis yang diterima PARAPUAN, Selasa (18/5/2021).
Baca Juga: Bangga, Mahasiswa Unaya Temukan Alat Pendeteksi Stunting pada Balita
“Nutrisi memang mengambil peran penting yang perlu menjadi perhatian lebih bagi calon orang tua baik sejak masa perencanaan, kehamilan, hingga menyusui,” ujar Sinteisa.
Penyebab tingginya angka stunting di Indonesia dikarenakan juga sebagian kelahiran bayi di Indonesia sudah dalam kondisi kekurangan nutrisi, lalu dibesarkan juga kurang zat gizi.
Adapun faktor yang menyebabkan stunting, bisa berasal dari faktor eksternal seperti buruknya fasilitas sanitasi, minimnya akses air bersih, dan kurangnya kebersihan lingkungan.
Serta faktor internal yaitu kekurangan gizi kronis yang bisa menyebabkan abortus, anemia pada bayi baru lahir, bayi dengan berat badan lahir rendah, cacat bawaan, hingga kematian.
Kekurangan gizi kronis pada anak akan menimbulkan persoalan serius dalam pembangunan sumber daya manusia di masa depan.
Dalam paparannya di peluncuran kerjasama “Smart Sharing” tersebut, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang diwakili Direktur Bina Akses Pelayanan Keluarga Berencana BKKBN dr. Zamhir Setiawan, M.Epid menegaskan keseriusan pemerintah menangani stunting selama ini.
Karena, menurut penjelasan dr. Zamhir, sebenarnya dalam lima tahun terakhir angka stunting di Indonesia telah mengalami perbaikan.
“Jumlah kasus stunting di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 27,67%. Angka itu berhasil ditekan dari 37,8% di tahun 2013. Namun, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) yaitu kurang dari 20%. Bahkan hingga akhir tahun lalu, status Indonesia masih berada di urutan 4 dunia dan urutan ke-2 di Asia Tenggara terkait kasus balita stunting,” jelas dr. Zamhir.
Presiden Joko Widodo pada Januari 2021 lalu menargetkan pada tahun 2024 kasus stunting di Indonesia bisa ditekan hingga berada di angka 14% dan angka kematian ibu bisa ditekan hingga di bawah 183 kasus per 100.000 ibu melahirkan.
Baca Juga: Ini Kata Ahli Mengenai Pentingnya 9AAE Untuk Hindari Stunting
Program “Smart Sharing” ini dimulai pada April 2021 dan bertujuan memberikan edukasi seluas-luasnya kepada masyarakat bagaimana mempersiapkan ketahanan kesehatan keluarga untuk mencegah stunting, menurunkan angka kematian ibu melahirkan, dan menurunkan angka kematian bayi.
Secara garis besar, program ini akan menggelar 3 jenis kegiatan, yaitu edukasi secara online, edukasi secara offline, dan program intervensi gizi di 2 kabupaten/kota.
Studi Observasional dan Program Intervensi Gizi
Sinteisa pun menjelaskan bahwa dalam program penurunan angka stunting ini akan dilaksanakan studi observasional dan program intervensi gizi.
“Salah satu aspek penting yang akan dijalankan melalui program “Smart Sharing” ini adalah rencana melakukan studi observasional dan program intervensi gizi terhadap para ibu hamil, ibu menyusui dan bayi dengan memberikan asupan gizi yang baik," jelas Sinteisa.
"Sebagai bagian dari upaya penanggulangan stunting berupa penelitian mendalam terhadap tiga kelompok pengujian yaitu ibu hamil dengan usia kandungan 4 - 6 bulan, ibu menyusui bayi usia 0 – 3 bulan, dan bayi usia 6 – 9 bulan,” tambahnya.
Studi observasional dan program intervensi gizi ini bertujuan membantu memberikan asupan bernutrisi kepada ibu yang sedang hamil, ibu menyusui, dan bayi usia 6-9 bulan dan mengukur seberapa efektif pengaruhnya terhadap kesehatan ibu dan perkembangan janinnya, serta tumbuh kembang bayi.
Dr. (HC), dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K), Kepala BKKBN dalam sambutannya menegaskan komitmen BKKBN menurunkan angka kasus stunting di Indonesia.
Baca Juga: Anak Tantrum di Tempat Umum? Tenangkan Diri, Begini Cara Menghadapinya
“Stunting harus ditekan dari hulu ke hilir mulai dari program edukasi hingga intervensi gizi untuk mencegah anak gagal tumbuh. Program edukasi penting agar anak tidak salah gizi dan yang juga harus diperhatikan adalah pengamatan terhadap kondisi gizi anak.
"Pandemi telah mengakibatkan kegiatan posyandu di banyak daerah terhenti, padahal selama ini Posyandu berperan besar sebagai langkah awal pengawasan gizi anak. Kami berharap kolaborasi ini menjadi cara alternatif agar gizi dan kesehatan anak di Indonesia terpantau,” ungkap dr. Hasto.
(*)