Parapuan.co - Belakangan ini, banyak berseliweran konten di media sosial tentang 'pick me girl'.
Banyak bahasan mengenai istilah ini banyak dijumpai dalam video di TikTok maupun utas di Twitter.
Dalam tren pick me girl ini, seorang perempuan akan mengolok-olok atau mempermalukan perempuan lainnya untuk mendapatkan perhatian laki-laki.
Ternyata, fenomena ini bukanlah hal yang baru di masyarakat.
Pada tahun 2019 juga beredar tren yang serupa tapi tak sama, 'I'm not like other girls', di internet.
Baca Juga: Jarang Disadari, Ini Kalimat Pemberi Semangat yang Justru Beracun
Saat itu, banyak meme mengenai perempuan yang membuat dirinya berbeda dari perempuan lain dengan cara yang tidak sehat dengan mengatakan bahwa dirinya 'tidak seperti perempuan lain'.
Adapun cara-caranya adalah dengan mengatakan beberapa ungkapan seperti :
"Gue lebih suka pakai sepatu kets ketimbang sepatu hak tinggi, nggak kayak perempuan lain."
"Daripada kayak perempuan lain yang suka drakor, gue lebih suka nonton film thriller atau action deh."
"Gue lebih suka natural aja, enggak suka dandan."
Tentunya ungkapan-ungkapan ini juga familiar didengar oleh Kawan Puan, bukan?
Baik itu pernah dikatakan oleh teman perempuanmu, atau mungkin, tanpa sadar kamu yang mengatakannya pada orang lain.
Tanpa disadari, ungkapan-ungkapan ini dikatakan oleh perempuan untuk mendapatkan validasi dari laki-laki dengan cara mengesankan kaum adam bahwa mereka berbeda dari perempuan lain.
Adanya fenomena 'pick me girl' atau 'I'm not like other girls' ini tak bisa lepas dari kondisi masyarakat yang masih melestarikan kultur misogini terinternalisasi (internalized mysogyny).
Misogini terinternalisasi adalah ketika perempuan secara tidak sadar memproyeksikan ide-ide seksis ke perempuan lain dan bahkan ke diri mereka sendiri.
Baca Juga: Mengenal Definisi dan Contoh Misogini yang Sering Kita Alami
Menurut Noam Shpancer Ph.D, psikolog dan penulis buku The Good Psychologist mengatakan bahwa patriarki berkaitan dengan persaingan antar perempuan.
"Ketika perempuan mulai mempertimbangkan untuk dihargai laki-laki sebagai sumber kekuatan, nilai, pencapaian, dan identitas utama mereka, perempuan dipaksa bersaing dengan perempuan lain untuk mendapatkan hadiah itu," tulisnya seperti melansir Psychology Today.
Hal ini sejalan dengan studi literatur yang ditulis oleh Tracy Vaillancourt, profesor di University of Ottawa, pada tahun 2013 yang menemukan bahwa perempuan pada umumnya mengekspresikan agresi tidak langsung terhadap perempuan lain.
Agresi ini pun dianggap sebagai bentuk promosi diri yang membuat mereka terlihat lebih menarik dengan cara menghina saingan mereka.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Cornell University terhadap 750 mahasiswi cenderung mengkritik dan menolak perempuan lain yang dipandang oleh mereka lebih menarik secara seksual.
Menurut Shpancer, persaingan perempuan yang kejam terutama disebabkan oleh fakta bahwa perempuan lahir dan besar dalam masyarakat yang didominasi laki-laki, menginternalisasi perspektif laki-laki dan mengadopsi pemikiran bahwa kaum hawa adalah milik kaum adam.
Bahkan, banyak dari hal itu tertanam dalam diri kita tanpa sadar.
Untuk itu, sudah saatnya kita memutus kultur ini, lalu mengubahnya ke arah yang lebih baik.
Memang tak mudah mengubah kebiasaan ini hanya dalam satu malam. Tapi langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan menyadari bahwa tak ada yang perlu dikompetisikan antara perempuan.
Hal yang terpenting adalah mendukung sesama perempuan dan menjadi berharga tanpa validasi dari orang lain ya, Kawan Puan.(*)
Baca Juga: Film Moxie: Arti Gerakan Women Support Women Sesungguhnya dalam Perjuangan Melawan Sistem Patriarki