Parapuan.co – Tak banyak disadari oleh masyarakat bahwa kebiasaan kita mengonsumsi dan menggunakan pakaian turut berkontribusi pada kelestarian lingkungan.
Melihat selebgram favorit pakai baju yang keren atau ada tren pakaian terbaru, kita langsung tergiur untuk membeli.
Apakah pakaian tersebut benar-benar dibutuhkan atau tidak, kerap kali tak jadi persoalan untuk kita membeli baju baru demi mengikuti tren terbaru.
Tapi ternyata, kebiasaan kita ini berdampak buruk bagi lingkungan.
Hal ini seperti disampaikan oleh Aretha Aprilia, pakar manajemen limbah dan energi, bahwa kebiasaan masyarakat yang konsumtif dalam hal pakaian turut berkontribusi pada menumpuknya limbah pakaian.
“Memang kita juga termasuk salah satu pemakai atau berkontribusi pada fast fashion. Pakaian-pakaian diproduksi secara masif dan banyak dijual secara murah. Sementara season tergus berganti,” jelas Aretha saat diwawancarai PARAPUAN.
Untuk diketahui, fast fashion adalah istilah di industri tekstil yang memproduksi berbagai model pakaian yang terus berganti secara cepat, serta menggunakan bahan baku yang berkualitas buruk, sehingga tidak tahan lama.
Baca Juga: Dukung Slow Fesyen, Ini Rekomendasi Tempat Rental Baju Pesta Untukmu
Bahkan, pada tahap produksi itu sendiri industri pakaian kebanyakan memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan.
“Dari awal memproduksi pakaian, industri tekstil adalah salah satu industri yang polluting untuk lingkungan. Banyak menyebabkan polusi air dan udara,” tambahnya lagi.
Hal ini sejalan dengan temuan Changing Markets Foundation yang dirilis pada Juni 2021 lalu bahwa industri pakaian bertanggung jawab atas lebih dari 20 persen polusi air di dunia.
Ironisnya lagi, laporan International Union for Conservation of Nature tahun 2017 menunjukkan bahwa tekstil akan menjadi sumber polusi mikroplastik laut terbesar di dunia.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Menurut pengamatan Aretha, Indonesia sendiri termasuk salah satu produsen dan konsumen pakaian terbesar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 menunjukkan bahwa produksi industri pakaian mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 15,29 persen.
“Ini seperti pisau bermata dua. Di satu sisi memang bagus karena mereka bisa menyerap tenaga kerja, cuman di sisi lain juga mereka memproduksi pakaian secara massal dalam jumlah yang sangat masif,” ujar Aretha.
Tak hanya itu saja. Di beberapa daerah ia juga kerap menemui perusahaan tekstil yang menggunakan pewarna dengan pengelolaan limbah yang buruk.
“Ada industri tekstil yang pakai pewarna dan kemudian dibuang ke sungai begitu saja,” tambahnya lagi.
Nasib Pengolahan Limbah Pakaian
Tak hanya merusak lingkungan di level produksi, industri pakaian juga pada akhirnya membebani kita semua karena berujung jadi limbah yang sulit didaur ulang.
Bukannya tanpa sebab, pasalnya fasilitas insinerator (waste to energy) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang hanya bisa mengolah 50 ton sampah per hari.
Angka ini tak sebanding lurus dengan jumlah sampah yang masuk ke area TPA Bantar Gebang Jakarta sebanyak 7.000 hingga 7.500 ton per harinya. Persentase pengolahannya sangat kecil.
Menurut data Jakarta dalam Angka tahun 2017, persentase komposisi sampah DKI Jakarta untuk kategori kain adalah 1,11 persen.
“Sampah kain 1,11 persen, tapi kalau dari 7.500 ton per hari total keseluruhan sampah di Jakarta, berarti kita membuang 83,25 ton sampah kain per hari,” jelasnya lagi.
Menurut Aretha, sebenarnya peraturan terkait persampahan di Indonesia sudah cukup lengkap, hanya saja penegakkan peraturannya masih kurang.
“Kita butuh penegakkan peraturannya yang lebih tegas dari pemerintah terhadap polluters,” ujarnya menegaskan.
Termasuk soal implementasi dari program-program pemerintah terkait pengelolaan sampah. Menurut Aretha, orang awam tak banyak yang tahu seperti apa implementasi dari pengolahan sampah tersebut.
“Diolah seperti apa? Apakah pengolahannya sudah sesuai dengan materialnya atau tidak?” ujarnya yang menyayangkan tak adanya transparansi dan ketegasan perihal pengolahan limbah tersebut.
Baca Juga: Bijak Pilih Pakaian, Ini 4 Serat Sintetis yang Tidak Ramah Lingkungan
Ironisnya lagi, sekalipun kita telah memilah sampah berdasarkan kategorinya, pada saat sampai di TPA sudah dalam kondisi tercampur.
“Ini membuat masyarakat menjadi malas untuk memilah sampah. Jadi belum ada streamline antara peraturan hingga implementasinya di lapangan,” tambahnya.
Padahal, pemilahan sampah menjadi salah satu kunci penting dalam pengolahan limbah.
“Karena belum terpilah, jadi seringkali tidak bersih. Biasanya kalau sudah tercampur dan kotor, akhirnya tidak diambil oleh pelapak atau pemulung. Itu pun menjadi worthless,” jelasnya lagi.
Sampah yang telah tercampur akan semakin sulit untuk diolah, hingga pada akhirnya akan berujung di laut.
“Makanya marine litter juga ternyata bukan hanya plastic waste, tapi juga textile waste,” papar Aretha lagi.
Salah satu buktinya adalah pernah ditemukan sebuah kasus lumba-lumba yang tercekik pakaian dalam perempuan di Meksiko. Sementara itu, ditemukan juga banyak sampah pakaian di dasar laut.
Mengurangi dari Sumbernya
Hanya menunggu langkah dari pemerintah untuk mengatasi masalah limbah pakaian tentu bukan hal yang bijak dilakukan.
Secara cepat, seharusnya masyarakat bisa secara paralel meminimalisir masalah sampah tekstil yang tak kalah berbahayanya dengan limbah plastik maupun makanan.
Seperti yang disampaikan oleh Aretha, “Intinya memang kita harus sebisa mungkin mengurangi sampah sebesar-besarnya agar tidak berakhir di TPA dan membebaninya.”
Bukan tanpa sebab, kemampuan dan kapasitas TPA untuk mengolah serta menampung sampah sangatlah terbatas.
Terlebih lagi belum ada teknologi yang cukup mumpuni kita miliki untuk mengolahnya.
“Coba bayangkan kalau nanti TPA sudah overloaded dan tidak ada tempat untuk buang sampah, lantas gimana? Mau kemana sampah itu dibuang?” ujar Aretha resah, mengingat kini sampah yang masuk ke TPA mencapai 140 kali lipat lebih banyak daripada daya olahnya.
Saling menyalahkan siapa yang salah dan siapa yang harus bertanggung jawab dari isu limbah pakaian tentunya tak akan menyelesaikan masalah.
Baca Juga: Serat Kain Ini Tak Hanya Merusak Lingkungan, Tapi Juga Buruk Bagi Kesehatan
Kita sebagai pengguna bisa mengontrol apa yang kita kenakan sehari-hari dan turut berpartisipasi mengurangi sampah dari sumbernya.
Kita sendiri yang harus bisa memilih mana yang kira-kira kebutuhan dan keinginan.
Apakah kita harus selalu membeli pakaian baru hanya demi mengikuti tren tanpa mengindahkan dampaknya pada lingkungan?
Alih-alih menjadi konsumtif, Aretha pun menyarankan untuk menerapkan gaya hidup dengan pedoman quality over quantity.
“Pilih produk (pakaian) yang memang agak mahal tapi berkualitas dan bisa tahan lama. Itu lebih baik dibandingkan kita membeli yang murah tapi berkali-kali dan berujung dibuang,” jelasnya.
Gaya hidup masyarakat yang konsumtif adalah salah satu cikal bakal kehidupan yang tidak berkelanjutan.
“Jadi memang at the end of the day, kembali lagi ke tangan konsumen agar lebih hati-hati dan bijak dalam menggunakan serta memilah sampah pakaian karena ketika kita ingin berupaya supaya sampah itu tidak masuk ke TPA. Karena kalau tidak kita siapa lagi?” tutupnya.(*)
Baca Juga: Ternyata, Tak Semua Brand Label 'Green Fashion' Mempraktikkan Mode Berkelanjutan