"Pada kelompok orang yang istilahnya adem ayem saja, mungkin ketika dikasih pendekatan seperti ini tidak memunculkan reactance-nya dia, malah menjadi terinternalisasi di dalam diri dia: "oh kata mama aku enggak bisa, ya sudah aku enggak bisa"."
"Jadi intinya bukan tidak boleh atau jangan digunakan. Tapi jangan digunakan terus-menerus. Lihat dari segi kesesuaian dengan konteksnya, kebutuhan, dan karakteristik lawan bicara kita," tambahnya.
Kesan manipulatif
Masalahnya, penerapan psikologi terbalik juga berpotensi menimbulkan konflik dalam hubungan.
Pada anak, mereka mungkin merasa dirinya dimanipulasi jika orangtuanya terlalu sering menerapkan strategi tersebut.
Baca Juga: Begini Cara Mengajari Anak Menolak Body Shaming, Berani Speak Up!
Sebab, orang tua menjadi terkesan manipulatif untuk membuat anak mau melakukan apa yang diinginkannya.
"Itu bukan dasar dari komunikasi yang terbuka," kata Nadya.
Padahal, strategi ini lebih banyak digunakan dalam bidang marketing untuk membuat orang lain membeli barang atau jasa yang ditawarkan.
"In terms of relationship, seperti dengan pasangan, teman atau rekan kerja, bisa menjadi backfire karena orang akan merasa kita memanipulasi dia sehingga hubungan akhirnya menjadi tidak enak," jelas Nadia.
Tapi, dalam konteks pengasuhan anak, strategi ini sebetulnya sudah mulai ditinggalkan dalam beberapa tahun terakhir.