Kisah Menjahit Bendera
Terhitung satu tahun setelah pernikahan Fatmawati dan Presiden Soekarno, Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia.
Fatmawati kemudian berpikir bahwa Indonesia memerlukan bendera Merah Putih untuk dikibarkan di Pegangsaan 56.
"Pada waktu itu tidak mudah untuk mendapatkan kain merah dan putih di luar," tulis Chaerul Basri dalam artikelnya "Merah Putih, Ibu Fatmawati, dan Gedung Proklamasi" yang dimuat di Harian Kompas, 16 Agustus 2001.
"Barang-barang eks impor semuanya berada di tangan Jepang, dan kalau pun ada di luar, untuk mendapatkannya harus dengan berbisik-bisik," tulisnya.
Baca Juga: Ini Kisah dan Perjuangan 5 Anggota Perempuan Paskibraka Nasional 2021
Namun berkat bantuan Shimizu, orang yang ditunjuk oleh Pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia, Fatmawati akhirnya mendapatkan kain merah dan putih.
"Berulangkali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu.
"Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah putih. Saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja.
"Sebab dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit," kata Fatmawati dalam buku Berkibarlah Benderaku, Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka karya Bondan Winarno.