Tak Harus di Medan Perang, 4 Pahlawan Perempuan Ini Begitu Berpengaruh

Firdhayanti - Selasa, 17 Agustus 2021
Rasuna Said
Rasuna Said Kompas.id

3. Dewi Sartika

 

Dewi Sartika
Dewi Sartika Kompas.com

Raden Dewi Sartika berperan memperjuangkan hak-hak pribumi di bidang pendidikan.

Lahir di Bandung pada 4 Desember 1884, Dewi Sartika punya bakat mengajar.

Papan bilik, kandang kereta, serta pecahan genteng dimanfaatkannya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan pada pribumi.

Baca Juga: Menyambut HUT Indonesia, Yuk Belajar Sejarah Kemerdekaan Indonesia Lewat Podcast Ini

Bagi perempuan, Dewi Sartika juga mengajarkan beberapa keterampilan, seperti merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis.

Ia pun mendirikan Sakola Istri pada 1904 di ruang pendopo Kabupaten Bandung dengan dibantu dua orang saudaranya.

Sekolahnya berkembang pesat, sehingga menjadi nama Sakola Kautamaan Istri dan membuat organisasi Kautamaan Istri di Tasikmalaya.

Kemudian, pada 1929 berganti lagi menjadi nama Sekolah Raden Dewi.

4. Opu Daeng Risadju

 

Opu Daeng Risadju.
Opu Daeng Risadju. Kompas.com

Perempuan yang memiliki nama asli Famajjah ini lahir pada 1880 di Palopo, Sulawesi Selatan.

Famajjah merupakan anak dari pasangan Muhammad Abdullah To Baresseng dan ibunya Opu Daeng Mawellu yang merupakan keturunan bangsawan Luwu.

Belanda berhasil menguasai Kerajaan Luwu pada tahun 1905.

Baca Juga: Sambut HUT Indonesia, Ini Sederet Film Netflix untuk Merayakan Kemerdekaan

Opu Daeng dan suaminya pun menetap di Pare-Pare dan meninggalkan Palopo.

Ia pun aktif sebagai anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

Opu Daeng Risadju mendirikan cabang PSII di Palopo pada 14 Januari 1930 sekembalinya dia dari Pare-Pare.

Ia kemudian memperluas perjuangannya dan menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah Belanda dan Kerajaan Luwu.

Hal yang dilakukan Opu Daeng ini begitu membahayakan Belanda.

Ia dituduh melakukan tindakan provokasi rakyat untuk melawan pemerintah kolonial dan dipenjara selama 13 bulan.

Opu Daeng Risadju tercatat sebagai wanita pertama yang dipenjarakan oleh Pemerintah kolonial Belanda dengan alasan politik.

Ia berkali-kali menerima hukuman kejam dari Belanda karena perlawanannya. Di usia yang tak lagi muda, ia dipaksa berjalan kaki ke Watampone yang berjarak 40 kilometer.

Opu Daeng bahkan sampai tuli seumur hidup karena siksaan yang ia terima.

Pada 10 Februari 1964, ia meninggal dunia dan dimakamkan di Perkuburan Raja-Raja Lokkoe di Palopo. 

(*)

Sumber: KOMPAS.com
Penulis:
Editor: Dinia Adrianjara