Parapuan.co - Pandemi Covid-19 belum selesai, namun dunia kembali dihadapkan dengan virus Marburg.
Di mana virus Marburg ini terdeteksi di benua Afrika Barat, tepatnya di negara Guinea.
Virus Marburg mampu menyebabkan demam berdarah yang parah bagi manusia.
Dikutip dari WHO.Int, lembaga kesehatan dunia ini menuliskan data rata-rata kematian akibar Marburg virus disease (MVD) adalah sekitar 50 persen.
Baca Juga: Rekomendasi CISDI dan PUSKAPA agar Kelompok Rentan Bisa Mendapat Vaksinasi Covid-19
Tingkat kematian kasus karena virus Marburg ini bervariasi dari 24 persen hingga 88 persen, hal ini tergantung pada jenis virus dan manajemen kasus.
Dalam sejarahnya, penyakit virus Marburg awalnya terdeteksi pada 1967 di Marbrug dan Frankfurt Jerman.
Ditemukan juga di Beogard, Serbia.
Perlu Kawan Puan ketahui bahwa virus Marburg dan Ebola termasuk dalam anggota keluarga (filovirus).
Memang keduanya ini disebabkan oleh virus yang berbeda, namun secara klinis serupa.
Dalam arti lain, penyakit ini jarang terjadi, meski demikian keduanya memiliki kapasitas untuk menyebabkan wabah dengan tingkat kematian yang tinggi.
Baca Juga: CISDI dan PUSKAPA Ungkap Hambatan Kelompok Rentan Mengakses Vaksinasi Covid-19
Penularan virus Marburg
Menurut WHO, awalnya infeksi MVD pada manusia ini terjadi akibat adanya kontak yang terlalu lama dengan tambah yang dipenuhi dan dihuni oleh koloni kelelawar rousettus.
Selanjutanya, virus Marburg menular dari individu ke individu lainnya karena kontak langsung melalui kulit yang rusak dengan darah, sekresi, atau terkena cairan tubuh lainnya dari orang yang terinfeksi.
Di sisi lain, penularan yang melalui peralatan injeksi yang terkontaminasi seperti tusukan jarum dapat menimbulkan kondisi yang lebih parah.
Mulai dari gangguan pada tubuh hingga meningkatkan risiko kematian.
Penyakit yang disebabkan oleh virus Marburg akan menimbulkan gejala demam tinggi, sakit kepala yang parah, dan malaise.
Selain itu orang yang terinfeksi virus Marburg akan mengalmi nyeri otot.
Tak sampai situ saja, mereka pun akan mengalami diare yang parah bahkan bisa bertahan dalam beberapa minggu, sakit perut, kram, serta mual dan muntah.
WHO juga mengungkap bahwa banyak juga pasien yang mengalami manifestasi perdarahan yang parah antara 5-7 hari.
Perdarahan terjadi di beberapa area tubuh, sepertu hidung, gusi dan vagina.
Baca Juga: Kemenkes Resmi Umumkan Biaya Terbaru Tes PCR, Berikut Rinciannya
Dalam kasus yang fatal, kematian paling sering terjadi antara 8-9 hari setelah timbulnya gejala, biasanya didahului dengan kehilangan darah yang parah dan syok.
(*)