Parapuan.co - Rapper perempuan peraih penghargaan Grammy, Megan Thee Stallion, merencanakan untuk merilis remix dari lagu BTS yang berjudul Butter pada hari Jumat ini.
Tetapi Megan menuduh label rekamannya mencegah perilisan lagu tersebut. Megan pun mengajukan surat gugatan kepada label rekamannya, 1501 Certified Entertainment dan CEO Carl Crawford.
Kasus yang terjadi pada Megan ini bukanlah kasus baru di industri musik modern, di mana label rekaman menjadi "raja" yang harus dipatuhi.
Seperti yang tertulis dalam surat pengajuan, Megan sedang mencari bantuan darurat dari pengadilan sebelum Jumat ini, 27 Agustus 2021.
Ia memohon untuk memungkinkan musik barunya dirilis seperti rencana awalnya yang sudah dijadwalkan.
Dalam dokumen, Megan juga berpendapat bahwa memblokir rilis lagu tersebut akan menyebabkan kerugian karier yang tidak dapat diperbaiki.
Baca Juga: Sedang Naik Daun, Megan Thee Stallion Memutuskan Rehat Sejenak
"Jika Butter (Remix) tidak rilis maka kualitas Megan sebagai musisi akan terpengaruh, dan reputasi dan karier Megan secara keseluruhan akan rugi," bunyi surat pengajuan tersebut, dikutip dari Billboard.
Megan juga menyebutkan dalam surat pengajuan bahwa kontraknya dengan label rekamannya selama ini tidak masuk akal
Dia hanya dibayar Rp 200 juta dari label setelah mendapatkan lebih dari 1 miliar streaming dan menjual lebih dari 300 ribu unduhan lagu.
Berdasarkan penjualan yang besar tersebut keuntungan yang seharusnya Megan terima adalah sekitar Rp 100 miliar.
Kontrak kerja Megan menunjukkan kesepakatan yang dia tandatangani dengan 1501 antara lain, label akan menerima kepemilikan rekaman masternya, 60% dari royalti rekaman bersihnya, 50% dari penerbitannya.
Selain itu, label juga mengklaim 30% dari pendapatan merchandising, sponsor, dan endorsement, dan 30% pendapatan dari konser dan penampilan langsung.
Label rekaman menjelma bak raksasa yang menguasai industri musik Amerika Serikat dan internasional.
Mereka mengambil untung dari karya dan prestasi yang dihasilkan oleh musisi yang dinaungi.
Megan Thee Stallion bukanlah yang pertama mengalami konflik dengan label rekamannya sendiri.
Industri musik hip-hop, ranah Megan berkarya, juga menjadi sasaran empuk permainan uang label rekaman.
Baca Juga: Potret Misogini dalam Dunia Musik di Kasus Konservatori Britney Spears
Melansir dari media hip-hop Okayplayer, hip-hop menjadi bisnis besar telah menguntungkan sejumlah artis, menghasilkan banyak multi-jutawan dan menjadi ekonomi tersendiri.
Namun, seiring dengan kesuksesan itu, muncul pula keserakahan, ketidakpantasan finansial, dan taktik serta sifat buruk lainnya yang diterapkan oleh label yang mengambil untung dari musik.
Hal ini mengakibatkan sejumlah artis dan produser rap mendapatkan kesulitan dalam hal kompensasi atas pekerjaan mereka.
Banyak rapper terkenal yang menjadi korban kontrak rekaman yang tidak adil, membuat mereka hidup dalam kemelaratan meskipun mencetak sejarah dalam tangga lagu.
Jika melihat industri musik secara keseluruhan, artis perempuan menjadi korban paling banyak dari ketidakadilan kontrak dengan label rekaman.
Bintang pop Taylor Swift pernah bersuara mengenai kasusnya dengan Scott Borchetta dan Scooter Braun dari Big Machine Label Group.
Akuisisi Braun mengklaim larangan kepada Taylor Swift untuk menyanyikan lagu-lagu lamanya pada penampilannya di American Music Awards 2019 saat ia menerima penghargaan Artis Dekade.
"Saya merasa sangat yakin bahwa berbagi apa yang terjadi pada saya dapat mengubah tingkat kesadaran artis lain dan berpotensi membantu mereka menghindari nasib serupa," tulis Swift di media sosialnya.
Baca Juga: Saling Mengagumi, Begini Kata Camila Cabello tentang Taylor Swift
"Pesan yang mereka (label rekaman) kirimkan kepada saya sangat jelas. Pada dasarnya, mereka ingin saya menjadi gadis kecil yang baik dan tutup mulut," tulisnya lebih lanjut.
"Tak satu pun dari laki-laki ini memiliki andil dalam penulisan laguku. Mereka tidak melakukan apa pun untuk menciptakan hubungan yang saya miliki dengan penggemar saya," tutup Taylor Swift.
Taylor Swift berharap agar musisi perempuan lebih berani untuk buka suara terkait ketidakadilan kontrak kerja di industri musik. (*)