Parapuan.co - Dewasa ini, semakin banyak pasangan suami istri yang sadar akan pentingnya perencanaan keluarga.
Oleh karenanya, tak sedikit pasangan suami istri yang memutuskan untuk menunda kehamilan agar kehamilan terjadi di waktu yang tepat, saat keduanya telah siap secara fisik, mental, dan finansial.
Sayangnya, kejadian kehamilan yang tak diinginkan (KTD) masih sangat banyak terjadi.
KTD pun dapat berupa kehamilan yang tidak tepat waktu (mistimed pregnancy) dan kehamilan yang tidak diinginkan sama sekali (unwanted pregnancy).
Mengutip sebuah studi pada tahun 2017, sekitar 85 juta dari kehamilan di dunia pada tahun 2012 merupakan KTD.
Sementara itu, berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) di Indonesia sendiri terjadi sekitar 84 persen merupakan kehamilan yang diinginkan, 8 persen merupakan kehamilan yang tidak tepat waktu, dan 7 persen merupakan kehamilan yang tidak diinginkan pada tahun 2017.
Baca Juga: Mengenal Jenis Kontrasepsi Darurat untuk Cegah Kehamilan Tak Direncanakan
Penggunaan berbagai macam alat kontrasepsi sangat dibutuhkan untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan dan juga kehamilan yang tak diinginkan.
Namun, dilansir dari KOMPAS.com, lebih dari 47 juta perempuan di dunia kehilangan akses terhadap pelayanan kontrasepsi akibat pandemi Covid-19.
Belum lagi, banyak pasangan yang tidak melek akan jenis-jenis alat kontrasepsi.
Tak sedikit pula yang mengetahui jika pada saat kondisi terdesak, kehamilan dapat dicegah dengan penggunaan kontrasepsi darurat seperti IUD tembaga dan morning-after pill.
Lalu, bagaimana memilih alat kontrasepsi darurat yang tepat?
Dilansir dari Planned Parenthood, memilih alat kontrasepsi darurat bergantung pada faktor-faktor tertentu.
Jangka Waktu Setelah Melakukan Hubungan Seksual
Metode kontrasepsi darurat dapat digunakan hingga jangka waktu 5 hari sejak melakukan hubungan seksual.
Jika memungkinkan, kontrasepsi darurat berupa IUD tembaga lebih disarankan.
Namun, jika tidak sempat melakukan pemasangan IUD selama jangka waktu 5 hari, gunakan kontrasepsi darurat berupa morning-after pill, baik pil levonorgestrel maupun pil ulipristal acetate
Pil levonorgestrel efektif digunakan dalam jangka waktu paling lama 3 hari (72 jam) setelah hubungan seksual.
Sementara, pil ulipristal acetate bisa digunakan dalam jangka waktu paling lama 5 hari (120 jam) setelah hubungan seksual.
Baca Juga: Lakukan Hubungan Seks di Saat Terkena Covid-19? Ini Penjelasan Dokter
Berat Badan
Pemilihan kontrasepsi darurat juga dipengaruhi oleh berat badan.
IUD tembaga pada dasarnya dapat befungsi dengan baik pada perempuan tanpa memandang berat badan.
Namun, pil levonorgestrel kurang efektif untuk perempuan dengan berat badan di atas 70kg.
Sementara itu, pil ulipristal acetate kurang efektif untuk perempuan dengan berat badan di atas 88kg.
Sedang Menyusui
Metode kontrasepsi darurat dengan menggunakan IUD tembaga dan pil levonorgestrel aman untuk ibu menyusui karena tidak akan memberi pengaruh apapun pada ASI.
Namun, jika menggunakan pil ulipristal acetate, disarankan untuk tidak menyusui selama satu minggu setelah menggunakan pil ini, sebagaimana dikutip dari NHS.
Baca Juga: Rencanakan Keluarga? Ini Metode Kontrasepsi yang Aman untuk Ibu Menyusui
Akses pada Metode Kontrasepsi Darurat
Pemasangan IUD tembaga mungkin agak lebih sulit dibandingkan mengonsumsi morning-after pill.
Selain itu, pada situasi pandemi mungkin akan lebih sulit pula untuk mendatangi faskes terdekat demi pemasangan IUD tembaga.
Oleh karena itu, memilih alat kontrasepsi darurat juga perlu mempertimbangkan kemudahan aksesnya.
Pil levonorgestrel merupakan yang paling mudah diakses, sebab dapat diperjualbelikan secara bebas.
Sementara, untuk mendapatkan pil ulipristal acetate diperlukan resep dokter.
Pada akhirnya, jika tidak mungkin untuk mendapatkan jenis kontrasepsi darurat yang paling efektif, lebih baik gunakan metode kontrasepsi darurat sesuai ketersediaan.
(*)