"Pada saat pandemi ini kita bisa melihat, mendengar ada rumah tangga yang menjadi runyam, karena orang tua tidak terbiasa di rumah, tapi karena ada WFH harus kerja di rumah," tutur Prita.
"Biasanya selalu pergi, begitu di rumah saja, justru bikin stres. Mungkin tidak semua orang punya rumah yang luas, sehingga masing-masing anggota punya privasi."
"Nah di sinilah dbutuhkan sebuah upaya untuk memberikan ruang pada anggota keluarga," tutupnya.
Hany Seviatry sang pengusaha batik juga punya pengalaman yang berbeda selama masa pandemi.
Di awal pandemi, ia terpaksa harus menerapkan pembayaran dengan sistem borongan terhadap para pengrajin batik yang bekerja dengannya.
Baca Juga: Desainer Vera Wang Ternyata Baru Rintis Perusahaan saat Usia 40 Tahun
Hal itu ditempuhnya agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja selama pandemi yang sempat membuat show room batik miliknya mengalami penurunan omzet penjualan.
"Pada saat Covid-19 di Cilegon mulai mereda, kita mulai lakukan zona kuning. Jadi saya sudah bisa datang ke workshop," ungkap perempuan yang juga istri Walikota Cilegon itu.
"Terus terang saya kan nggak bisa melepaskan pengrajin bekerja sendiri. Membatik kan nggak bisa pakai masker ya, karena cantingnya harus ditiup. Jadi saya benar-benar harus tegas pada mereka," imbuhnya.
"Kalau biasanya mereka bergerombol, sekarang sudah tidak lagi. Saat jam istirahat, ada yang di musala, ada yang tetap berada di workshop," terang Hany.