Memang tidak ada yang salah untuk menjadi pekerja yang performative workaholism.
Tapi, motivasi untuk kerja terus menerus akhirnya membuat kita menjadi burnout.
Burnout ini sering dilanda oleh si pencita kerja sehingga mereka pun bisa membahayakan kesehatan dirinya, bahkan psikologi dirinya sendiri.
Menurut penulis It Doens't Have to Be Crazy at Work, David Heinemeier Hansson and Jason Fried, bekerja dengan jangka waktu yang lama bisa membuat kreativitas justru tidak muncul.
Tak hanya itu, performative culture ini juga akan membuat produktivitas justru tidak meningkat.
Rentan Terkena Eksploitasi
Kawan Puan, melansir New York Times, hustle culture dan perfomartive workaholism justru membuat kita jadi rentan mengalami ekploitasi.
Menurut David, bekerja berlebih akhirnya tidak membuat kita pun jadi kaya, justru kita membantu sekelompok elit untuk meraih kekayaan. "Ini sangat suram dan mudah dieksplotasi," jelasnya.
Sayangnya, budaya ini bermula dari industri teknologi, di mana ketika Google terbiasa memberikan makanan, pijat, bahkan dokter untuk pekerja.
Tunjangan itu dimaksudkan untuk membantu perusahaan menarik bakat terbaik dan membuat karyawan tetap berada di meja mereka lebih lama.
Baca Juga: Cerita Raden Sasnatya Soal Menariknya Bekerja Sebagai Interpreter
Dan, tentunya gaya hidup ini tidak sehat.
Bahkan, melansir Kompas.com, hustle culture bisa menyebakan seseorang tidak sehat hingga berujung kematian.
"Tren hustle culture ini hampir dialami oleh sebagian besar pekerja di berbagai perusahaan, terutama kalangan fresh graduate.
Tuntutan kebutuhan hidup yang banyak mengharuskan mereka bekerja lebih keras supaya mendapatkan penghasilan besar meskipun mengesampingkan kesehatan diri sendiri," ujar Graheta Rara Purwasono, M.Psi, seperti dikutip Kompas.com dari keterangan tertulis.
Waduh, semoga kita bisa menyeimbangkan hidup ya!(*)