Parapuan.co - Kawan Puan, apakah kamu suka membeli perhiasan emas?
Bila iya, lebih baik emas ini tak hanya dijadikan penunjang fashion saja, tetapi juga dana darurat, lho.
Ya, perhiasan emas disarankan menjadi dana darurat saja dibandingkan investasi.
Sebab, menurut Tejasari Asad CFP, aksesori fashion ini mudah untuk dijual.
"Kalau memang enggak ada niat investasi, enggak apa beli perhiasan emas, untuk dana darurat itu tentu boleh saja perhiasan emas.
Baca Juga: 4 Mitos Investasi yang Kerap Dipercaya Investor Pemula, Apa Saja?
Kalau tiba-tiba ada perlu, tinggal jual," ujar Tejasari dilansir dari Nova.id.
Tejasari menjelaskan bahwa yang sebetulnya cocok dijadikan investasi adalah investasi logam mulia 24 karat, bukan perhiasan emas.
Sebab, aksesori fashion ini bukan terbuat dari emas murni dan harganya cenderung jatuh bila kita menjualnya kembali.
Sementara logam mulia harganya selalu naik dan cenderung stabil.
"Kalau perhiasan, aku bilang itu bukan investasi karena itu kita pakai saja.
Seperti mobil, kita pakai, lalu jual ya harganya jatuh. Namun, manfaat penggunaannya kita dapat," ujar Tejasari.
Tejasari pun menambahkan, "Perhiasan emas lebih seperti dana darurat yang kalau ada apa-apa bisa dijual, tapi boleh dibilang kalau untungnya enggak seperti logam mulia.
Jadi punya perhiasan emas seperti simpanan biasa saja, seperti kita nabung di bank.
Kita simpan tapi sudah tahu bunganya kecil. Kita enggak mengharapkan keuntungan tinggi," ujar Tejasari.
Namun, bila memang Kawan Puan tetap ingin menjadikan perhiasan sebagai investasi, sah saja kok.
Baca Juga: Bisa Cair Sebagian, Ini Waktu Terbaik Klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan
Asalkan, kamu sudah tahu bahwa harga perhiasan emas cenderung di bawah logam mulia.
"Bisa saja menguntungkan tapi dengan jangka waktu yang cukup lama sampai dia ada kenaikan yang cukup tinggi. Kalau untuk investasi jangka pendek kurang bisa.
Selain ada selisih harga beli dan jual, lalu ada harga lebur, dan ada alasan lain dari toko emas sehingga harganya jadi jatuh," pungkasnya.
Tejasari juga melanjutkan, "Kalau kenaikannya belum tinggi, jadinya belum untung, malah rugi. Kalau masih 5 tahun ya. Mungkin harus di atas 10 tahun kali baru benar-benar ada untung," pungkas Tejasari.
(*)