Parapuan.co - Belakangan tengah ramai membicarakan tentang hustle culture yang menjadi gaya kerja milenial pada zaman sekarang.
Melansir headversity, hustle culture adalah budaya kerja yang membuat pekerjanya menjadi gila kerja, bahkan selalu memikirkan pekerjaan.
Tak hanya itu, pekerja juga dituntut untuk terus mengejar kecepatan, ketangguhan, hingga bekerja keras setiap hari.
Bahkan, mereka yang terjebak dalam hustle culture ini tak pernah beristirahat, sekalinya istirahat pun akan selalu memikirkan tentang pekerjaan.
"Pokoknya, kerja, kerja, dan deadline," Ya, begitulah yang ada di dalam benak para pekerja.
Sayangnya, hustle culture ini menjadi tren kerja para milenial, lho, Kawan Puan.
Baca Juga: Duh, Menurut Survei IBCWE Kondisi Mental Pekerja Semakin Memburuk
Wah, kok bisa ya?
Melansir The Daily Star, budaya gila kerja ini mulai marak terjadi di perusahaan dengan basis teknologi. Tentunya, para pekerja diminta untuk mengejar kecepatan, tanpa henti.
Coba saja lihat Tesla, sang CEO, Elon Musk pun pernah mengunggah cuitan di Twitter yang mengungkapkan kalau bekerja 40 jam per minggu tidak akan merubah dunia.
Tak hanya Tesla, beberapa perusahaan terknologi di China bahkan dikenal dengan budaya kerja 996. Pekerjanya dituntut untuk bekerja mulai dari jam 9 pagi hingga 9 malam dalam enam hari.
Tapi, begitulah keadaan kerja para milenial ini, termasuk kita.
Menurut Arijit Saha, Senior Business Analyst di sebuah perusahaan teknologi mengatakan, ini menjadi konsekuensi pekerja sekarang.
"Ketika Anda bekerja di lingkungan kerja yang serba cepat, dan di mana pun Anda bekerja, atasan Anda akan mengklaim bahwa itu adalah tempat kerja yang serba cepat; selalu ada keadaan darurat yang mengharuskan Anda memberikan waktu tambahan selama jam kerja.
Budaya perusahaan pada akhirnya akan menjadi racun jika karyawan menganggap setiap tugas sebagai prioritas tinggi," ujarnya.
Hustle culture ini pada akhirnya membuat pekerja pun burnout dan memberikan efek negatif untuk kesehatan dan masih banyak lagi.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahkan mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang disebabkan lantaran stres kronis di tempat kerja yang tidak bisa dikendalikan.
Burnout menyebabkan pekerja akhirnya pesimis dengan hasil mereka di pekerjaan.
Mereka jadi kurang memiliki motivasi dan energi untuk bekerja dan tidak bisa memenuhi kompetisi.
Dr. M. Tasdik Hasan, peneliti global kesehatan mental mengatakan kalau ada hubungannya antara kesehatan mental dengan bekerja berlebih.
Baca Juga: WFH Bikin Perempuan Karier Stres, Atasi dengan Cara Ini, Apa Saja?
"Seperti jadwal shifting ini bisa merusak sistem biologis tubuh dan punya efek terhadap efesiensi kerja, gangguan tidur, kesehatan mental, perubahan psikologis atau perilaku, stres, depresi, diabetes tipe II, obesitas, hipertensi, dan komplikasi jantung.
Kita juga tak bisa mengecualikan risiko bunuh diri di Jepang yang menjadi kasus belakangan ini," ujarnya.
Hustle culture juga menumbuhkan racun dalam persaingan antar pekerja.
Padahal, kompetisi yang sehat bisa memotivasi pekerja untuk menjadi lebih baik.
Budaya kerja ini secara keseluruhan bisa mengurangi produktivitas pekerja terhadap perusahaan.
Tidak Hanya Pekerja Kantoran
Sayangnya, hustle culture ini tak hanya dialami oleh pekerja kantoran saja. Tapi, bisa dialami oleh siapa saja, termasuk mahasiswa.
Zarin Fariha, mahasiswa jusuran filsafat dan sosiologi di Monash University, Australia, mengungkapkan kalau dirinya juga mengalami burnout selama kuliah.
"Saya sering bergadang untuk mengerjakan tugas yang begitu banyak. Hingga saya mengalami burnout sehingga tidak memiliki energi bahkan untuk mengerjakan pekerjaan harian," ujarnya.
Tak hanya mahasiswa, pelaku usaha juga merasakan hal yang sama.
"Di antara banyaknya harga untuk melakukan pekerjaan gila, salah satu harga yang harus bayar adalah kesehatan mental saya. Saya tidak mengutamakannya, dan membuat kondisi begitu parah beberapa tahun ini.
Saya mengalami depresi, tidak memiliki keseimbangan hidup antara kerja dan hidup," curhat Muhammed Asif Khan, Co Founder dan CEO Alpha Catering.
Baca Juga: Performative Workaholism, Gaya Hidup Pekerja yang Suka Pamer Kesibukan
Pandemi membuatnya lebih berat
Tren hustle culture ini juga semakin berat dialami oleh pekerja selama pandemi, terutama mereka yang bekerja dari rumah.
Kita di rumah harus mengurusi pekerjaan rumah, pekerjaan kantor, yang bahkan memikirkan diri sendiri saja sulit.
"Pandemi Covid-19 membuat perubahan gaya kerja untuk pekerja di dunia. Banyak orang kehilangan pekerjaan, dipotong gaji, dan menyeimbangkan kehidupan. Semua ini berdampak untuk kesehatan mental," jelas Dr. M. Tasdik Hasan.
Apa yang bisa kamu lakukan untuk hadapi hustle culture?
Pertama, lakukan skejul harianmu agar bisa mendapatkan waktu tidur yang cukup.
Sebuah artikel dari Harvard Business Review, mengungkapkan bahwa 1 dari 3 persen populasi bisa punya tidur sebanyak lima hingga enam jam setiap malam.
Sehingga, jangan mengesampingkan kebutuhanmu untuk tidur, ya.
Kedua, kamu bisa membatasi pekerjaan dan kegiatan lainnya dalam waktu tertentu. Misalnya saja akhir pekan, cobalah mengatur waktu untuk istirahat dan memenuhi kebutuhan tubuhmu.
Bisa dengan melakukan hobi, olahraga, meditasi, atau perawatan tubuh yang membuatmu rileks.
Baca Juga: Perempuan Karier Sibuk WFH, Simak Pentingnya Manajemen Waktu
Ketiga, istirahat. Ya, istirahat itu penting untukmu lho, Kawan Puan. Kalau memang matamu sudah terlalu berat untuk menatap komputer, silakan istirahat. Tak masalah bila memang akhirnya kamu harus kehilangan momentum dalam pekerjaan.
"Orang harus mulai merangkul empati di tempat kerja. Sangat susah membayankan bila orang suka bekerja di waktu mereka sedang libur. Atur batasan sangat penting, " jelas Arijit Saha.
Semoga berhasil ya, Kawan Puan!(*)