Parapuan.co - Beth Lun Lembudud, peserta tertua dalam seleksi PPPK Fungsional Guru tahun 2021 di Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara kini masih mengajar sebagai guru honorer.
Beth Lun masih mengajar di SDN 013 Krayan Barat, Kabupaten Nunukan.
Menjadi guru honorer di perbatasan RI-Malaysia, perempuan berusia 53 tahun ini tetap semangat untuk mengajar siswa siswinya.
Baca Juga: 4 Karakter Guru Perempuan Berdaya dan Inspiratif dalam Film Indonesia
Tidak dimungkiri, banyak tantangan yang dihadapinya, mulai dari keterbatasan fasilitas seperti jaringan internet, infrastruktur, hingga sumber daya manusia.
Hal ini tidak memudarkan semangat Beth Lun untuk mengajar.
Tiga kali ikut seleksi ASN
Menjadi guru honorer di perbatasan RI-Malaysia, Beth Lun sudah tiga kali mengikuti seleksi ASN.
Tahun ini, Beth Lun berharap bisa lolos tes PPPK. Akan tetapi, keberuntungan belum menghampirinya.
Beth Lun dinyatakan tidak lulus passing grade dengan nilai 278.
Mengalami keterbatasan fasilitas, saat itu ia bahkan nyaris tak bisa ikut seleksi PPPK karena terkendala jaringan internet saat mendaftar.
Beth Lun pun tak terbiasa menggunakan komputer sebab fasilitas tersebut sangat terbatas di sekolahnya mengajar.
Hal ini pun menjadi kendala lainnya saat ia melakukan tes PPPK.
Saat itu, ia sempat meminta bantuan panitia seleksi.
Tidak mengajar selama dua hari karena kecewa
Saat Beth Lun dinyatakan tak lulus PPPK, ia sempat mengalami rasa kecewa.
Memulihkan rasa kecewa, Beth Lun sempat tak mengajar selama dua hari.
Setelah itu, ia memilih untuk bangkit dan mengajar kembali, terlebih guru yang ada di daerahnya terbatas.
Baca Juga: Ini 5 Teknik Mengajar Jadi Pendidik Hebat dari Sosok Guru Berprestasi
"Memang sempat kecewa waktu pulang dari tes. Saya sempat tidak turun mengajar dua hari," kata Beth Lun melansir dari TribunKaltim.com, Kamis (25/11/2021).
"Tapi karena memikirkan anak-anak sekolah, jadi setelah itu saya turun. Kasian juga anak-anak, karena guru di sini terbatas," katanya.
Di tempat Beth Lun mengajar, guru yang berstatus PNS hanya tiga orang termasuk kepala sekolah.
Sementara itu, guru honorer sendiri berjumlah lima orang.
"Siswa di sini hanya 20-an lebih. Sudah seminggu ini belajar tatap muka mulai normal kembali. Saya mengajar hanya empat siswa saja," katanya.
"Tadi siswa yang hadir hanya dua orang. Kalau di sini hujan, banyak guru yang tidak masuk ngajar, karena banjir," ucapnya.
Ibu empat anak itu mengaku, selama satu tahun ini, ia baru mendapat gaji dua kali, sebesar Rp200 ribu.
"Gaji kami kan dari dana BOS yang mana tergantung jumlah siswa. Siswa di sini kurang. Baru tiga bulan lalu saya terima gaji yang kedua," ujarnya.
Dengan gaji sebesar itu, Beth Lun mengaku tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup di perbatasan yang notabene semua serba mahal.
Jalan kaki ke sekolah
Untuk pergi mengajar Beth Lun mengatakan bahwa ia berjalan kaki ke sekolah setiap hari.
"Saya pulang pergi ke sekolah jalan kaki hampir setengah jam. Sekolah masuk pukul 07.30 WITA, pulang pukul 11.00 WITA," tuturnya.
Sepulang mengajar, Beth Lun membantu suaminya di sawah.
Baca Juga: Mengenal Profesi Keguruan dan Cara Menjadi Guru di Indonesia
Ia juga melakukan pekerjaan lain demi menambah pendapatan keluarganya.
Beth Lun menjual sayur keliling kampung untuk membiayai sekolah anaknya.
"Suami saya petani sawah dan petani kebun juga. Beberapa hari lalu sudah nanam padi," ceritanya.
"Kalau sudah tidak nanam, ya berkebun sayur. Sebagian untuk makan, sebagian di jual. Anak saya yang bungsu SD, satunya lagi kuliah," katanya.
"Anak pertama dan kedua sudah selesai kuliah dan bekerja," tuturnya. (*)