Walaupun kini industri film Indonesia sudah semakin berkembang dan terbuka, namun praktik bias gender tentunya bukan hal yang mudah untuk dihapuskan.
"Untuk ngomong representasi, dalam industri kadang ada semacam bias gender dan ada asumsi tentang certain people are good in certain departments," kata Anggun.
Industri film yang didominasi oleh laki-laki membuat suara dan gender lainnya menjadi sulit untuk didengar.
Baca Juga: Menang Piala Citra, Jerome Kurnia Dorong Kesetaraan Gender di Industri Film
Peran perempuan dan kelompok minoritas pun dibatasi dalam departemen pekerjaan tertentu yang diangkap tidak maskulin dan tidak butuh kepemimpinan.
"Kami ditempatkan di departemen tertentu yang sudah menjadi sterotip, padahal kami ingin juga berkontribusi dalam penulisan naskah atau penyutradaraan misalnya," cerita Anggun.
Kru perempuan dan kelompok minoritas juga dianggap menjadi "penghibur" di lokasi set syuting, tak jarang mereka mengalami perundungan dan tindakan kekerasan seksual.
"Ketika ada kelompok minoritas, peran itu stereotipikal atau bahan lelucon. Aku sering melihat jokes dan bullying karena kru perempuan dan kelompok minoritas. Untukku itu sangat tidak nyaman," cerita Anggun.
Baca Juga: Women Support Women Jadi Kunci Kesetaraan bagi Perempuan di Industri Film
Ketidaksetaraan di belakang layar, dari orang-orang yang menciptakan sebuah karya, tentu saja tercerminkan dalam produk yang dihasilkan.
Tak sedikit film yang menempatkan perempuan dan kelompok minoritas hanya sebagai "pemanis", serta objek lelucon dan seksual.
"Jadi bahan komedi seksis, dan bulan-bulanan jadi badut, dulu saya dapat peran sebagai objek penderita," cerita Anggun.