"Jelas RUU TPKS itu didorong dan diajukan oleh 120 lebih lembaga pengada layanan," kata Kalis.
"Ratusan jaringan masyarakat sipil dan tidak terhitung lagi berapa solidaritas yang sudah mengajukan surat publik langsung kepada presiden agar segera disahkan," jelas dia.
Hal ketiga adalah dukungan politik. Kalis beranggapan dukungan politik ini masih minim didapatkan.
"Saya rasa disinilah masalah kita. Kita selalu berhadapan bahwa semua kebijakan publik yang terkait dengan perlindungan itu tidak ada yang sebentar," kata Kalis.
"RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sudah 17 tahun lebih dan belum sah. RUU TPKS ini sudah hampir 7 tahun dan belum sah," lanjutnya lagi.
Terkait lamanya pengesahan undang-undang yang berkaitan dengan moralitas, Kalis menganggap itu karena pembangunan selalu didefinisikan sebagai hal realistis yang bersifat maskulin.
Padahal, hak-hak perempuan merupakan bagian dari pembangunan sumber daya manusia.
"Kita tidak bisa bicara pembangunan jika setiap hari anak-anak perempuan kita diperkosa, jika ibu-ibu yang ada di dalam rumah tidak bisa melanjutkan hidupnya karena menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga," kata Kalis.
Bonus demografi tak dapat diraih jika banyak anak-anak perempuan sudah menjadi korban kekerasan.
Baca Juga: Mengenal Kalis Mardiasih, Penulis yang Peduli Hak Perempuan dan Anak