Psikolog Sarankan Guru Pesantren Pelaku Pemerkosaan Lakukan Tes MMPI, Apa Itu?

Anna Maria Anggita - Sabtu, 11 Desember 2021
Guru pesantren pelaku pemerkosa santri disarankan tes MMPI
Guru pesantren pelaku pemerkosa santri disarankan tes MMPI kieferpix

Parapuan.co - Kabar soal guru ngaji pesantren di Kota Bandung yang telah memperkosa 21 santrinya memang mengejutkan banyak pihak.

Pasalnya dari 21 korban pencabulan itu, sudah dilahirkan 8 bayi.

Mendengar adanya perbuatan bejat dari si pelaku yang bernama Herry Wirawan (36) membuat psikolog klinis RA Oriza Sativa, S.Psi., Psi,CH  geram dan buka suara.

Menurutnya, pelaku harus menjalani assessment test untuk deteksi gangguan kejiwaan yang mendalam.

"Mungkin dengan tes psikiatri, kita sebut dengan MMPI," ujarnya, saat dihubungi PARAPUAN, Jumat (10/12/2021).

Oriza memaparkan tes MMPI penting dilakukan untuk melihat apakah si pelaku ini ada psikopat atau tidak.

"Kalau yang dihamilin itu anak-anak kecil, terus berulang, berulang tanpa rasa bersalah, jangan-jangan orang-orang ini psikopat lho," papar Oriza.

Menurutnya orang yang mengidap psikopat itu tak perlu membunuh.

Oriza menegaskan bahwa orang psikopat itu ada di badan siapa pun, termasuk politisi, maupun guru ngaji, tanpa memandang profesi.

"Profesi tetaplah profesi, tapi hati busuk siapa yang tahu," jelasnya.

Baca Juga: Psikolog Tegaskan Pelaku Pemerkosa Santri Harus Jalani Tes Kejiwaan

Apa itu MMPI?

Dilansir dari Healthline, MMPI adalah singkatan dari Minnesota Multiphasic Personality Inventory yakni adalah salah satu tes psikologi yang paling umum digunakan di dunia.

Tes MMPI digunakan untuk membantu mendiagnosis gangguan kesehatan mental.

Namun untuk mengetes gangguan mental, para profesional kesehatan mental tak menggunakan tes MMPI saja, mereka juga mengumpulakn informasi dari banyak sumber, termasuk interaksi dengan orang yang diuji.

Adapun, item tes pada MMPI dirancang untuk mengetahui apakah ada gangguan kesehatan mental yang dibagi menjadi 10 skala yakni:



REKOMENDASI HARI INI

Representasi Karakter Perempuan dalam Game, Inklusivitas atau Eksploitasi?