Parapuan.co - Jelang persiapan sekolah tatap muka, orang tua perlu mengajarkan kedisiplinan pada anak.
Setelah kurang lebih dua tahun menjalani metode pembelajaran jarak jauh (PJJ), tentu saja ada begitu banyak perubahan pada pengajaran anak.
Kembalinya anak belajar di kelas tentu saja membuat anak perlu beradaptasi dan memiliki keterampilan sosial yang baik untuk memudahkannya bergaul dengan teman sebaya maupun dengan guru.
Untuk itu, penting bagi orang tua mengajarkan kedisiplinan pada anak dalam persiapan sekolah tatap muka.
Pengajaran kedisiplinan ini bermanfaat dalam perkembangan anak hingga dewasa nanti.
Namun, dalam memberikan pengajaran ini seringkali orang tua menghadapi berbagai tantangan.
Pasalnya, jika penyampaian dan penerapan kurang tepat, hal ini justru membuat anak bingung dan merasa cemas.
Baca Juga: Gentle Parenting, Pola Asuh yang Utamakan Ikatan Orang Tua dan Anak
Melansir dari laman Kompas.com, terapis kecemasan, Chad Brandt, PhD mengungkapkan bahwa orang tua harus bertanya pada diri sendiri tentang hasil apa yang diinginkan ketika berusaha mendisiplinkan anak.
"Skenario terbaik adalah anak-anak bisa memahami bahwa apa yang mereka lakukan salah, sehingga mereka dapat belajar dan mempraktikkan alternatif lainnya," sambung dia.
Kali ini PARAPUAN akan membahas mengenai bentuk kedisiplinan yang dilakukan orang tua tapi kurang efektif, menurut Brandt.
Dalam persiapan pembelajaran tatap muka, berikut cara mendisiplinkan anak yang kurang efektif dan cenderung membuat anak cemas.
1. Disiplin fisik
Jelang persiapan sekolah tatap muka, mendisiplinkan anak memang seringkali begitu memancing emosi.
Tak jarang, bahkan orang tua memilih menggunakan fisik untuk mendisiplinkan anak, seperti dengan memukul atau melakukan tindakan fisik lainnya dengan tujuan agar anak dapat berhenti melakukan hal yang buruk.
Faktanya, memukul atau melakukan tindakan disiplin fisik lainnya dapat berdampak buruk pada anak.
Belum lagi, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa disiplin fisik dapat mengubah struktur otak anak-anak.
Selain itu, tindakan memukul bahkan dinilai tak akan efektif untuk mengubah perilaku mereka menjadi lebih baik.
Tindakan disiplin fisik juga dapat berkontribusi pada siklus perilaku buruk, di mana anak cenderung akan menirunya.
Hal ini tentu saja akan berdampak pada cara anak bergaul dengan teman atau orang lain, karena orang tua pasti tidak ingin anak memukul temannya ketika melakukan kesalahan.
Tak hanya berdampak pada kondisi fisik anak, tindakan mendisiplinkan anak dengan cara ini juga dapat memperburuk masalah perilaku yakni membuat mereka menjadi lebih tertutup.
Baca Juga: 3 Tanda jika Kamu Dibesarkan dengan Pola Asuh Otoriter oleh Orang Tua
"Ketika anak-anak mengalami reaksi fisik terhadap rasa sakit, mereka akan mulai menyembunyikan perilaku mereka dari kita. Atau mereka akan berbohong dan menutupi sesuatu karena mereka tidak ingin dipukul," jelasnya.
Dengan kata lain, mendisiplinkan anak dengan cara ini justru tidak mengubah perilaku anak, melainkan mengajarkan anak untuk menghindari orang tua.
Karena, mendisiplinkan yang berhasil akan mengajarkan anak mengenai kesalahan yang dilakukannya dan tanggapan yang tepat dilakukan anak saat berada di kondisi serupa.
Brandt menyarankan, jika orang tua ingin membantu anak terlibat selama proses pendisiplinan, maka sebaiknya orang tua menunjukkan empati.
Tuntun anak agar mereka dapat menangani situasi serupa dengan lebih tepat di masa depan yang menambahkan lapisan penguatan positif.
Untuk itu, usahakan untuk menghindari tindakan mendisiplinkan anak dengan fisik selama persiapan pembelajaran tatap muka.
2. Disiplin yang terlalu keras
Tindakan pendisiplinan lainnya yang kurang efektif tapi kerap dilakukan adalah dengan disiplin yang terllau keras.
Sebagai contoh, anak melakukan kesalahan, kemudian orang tua mendisiplinkannya dengan metode time-out atau menempatkan anak di suatu ruangan dan membiarkannya.
Sebagian orang tua bahkan tergoda untuk membiarkannya terlalu lama, tapi justru tindakan tersebut menjadi kontraproduktif bagi anak.
"Ada batasan berapa lama anak-anak dapat memproses informasi. Dan untuk anak-anak kecil, batas itu cukup pendek," kata Brandt.
"Jadi, mereka mungkin memiliki waktu istirahat dan belajar sebentar, lalu bermain di kamar mereka atau duduk di kursi dan melamun. Itu adalah sesuatu yang tidak kita inginkan. Itu hanya akan melewatkan tujuannya," ujar dia.
Sebaiknya, jika orang tua menggabungkan time-out singkat dengan tindakan disipliner lain yang sesuai untuk membantu anak-anak memproses perilaku buruk mereka.
Baca Juga: 4 Pola Asuh Kuno yang Memicu Anak Memiliki Harga Diri Rendah
3. Disiplin yang tidak konsisten
Konsistensi orang tua dalam mendisiplinkan anak menjadi hal yang penting dilakukan.
Pasalnya, seringkali, orang tua mengubah-ubah aturan sesuai dengan kehendaknya.
Faktanya, cara tersebut justru membuat anak-anak bisa menjadi cemas sekalipun mereka telah berperilaku dengan tepat.
"Orangtua akan menunda mendisiplinkan anak mereka karena reaksi anak itu. Jadi anak memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja, sampai orangtuanya membentak dan marah," terang Brandt.
"Bagi anak, mereka akan merasa bingung mau melakukan apa saja, sampai tiba-tiba dimarahi," ungkapnya.
Kombinasi kebingungan dan ketakutan itu adalah tempat berkembang biaknya kecemasan.
Jadi, usahakan untuk mengurangi tindakan mendisiplinkan anak dengan cara fisik, terlalu keras, hingga tidak konsisten terhadap aturan ya, Kawan Puan.
Dengan begitu, mendisiplinkan anak dalam persiapan sekolah tatap muka, akan berjalan baik dan tidak membuat anak merasa cemas, sekalipun ia telah berperilaku baik. (*)