"Ketika ada salah satu yang terlihat payudaranya paling besar, dia disuruh baris di paling belakang. Saya tidak tahu diapakan dia, tapi seluruh tubuh itu diraba, dikhawatirkan ada benjolan, panu, atau penyakit. Tapi semua bagian tubuh diraba kecuali bagian tubuh di vagina dan pantat," tambahnya.
Kemudian Bu Salas disuruh untuk menandatangani surat kontrak kerja yang berbahasa China.
Bu Salas yang tidak mengerti bahasa China tersebut hanya patuh saja saat disuruh menandatangani kontrak kerja.
"Pada saat itu saya cuma diberitahu bahwa pekerjaan saya, menjaga nenek buta satu orang. Tulisan kontrak itu berbahasa Taiwan yang sama sekali saya nggak bisa baca," katanya.
Bahkan saat akan terbang ke negara yang dituju,koper Bu Salas dan para pekerja lainnya digeledah.
"Saat mau terbang, tasnya digeledah semua. Waktu itu saya bersama 11 pekerja migran yang akan ke Taiwan. Tidak boleh bawa kosmetik, tidak boleh bawa Quran, tidak boleh bawa nomor handphone, tidak boleh memegang uang, tidak boleh membawa baju yang dianggap seksi seperti tank top dan bawahan di atas lutut. Bahkan Mukenah juga disita," cerita ibu tiga anak tersebut.
Bu Salas bersama para pekerja yang akan diberangkatkan waktu itu juga tidak pernah melihat paspor dan dokumen yang mereka miliki.
"Saya juga tidak tahu paspor sama sekali. Jadi semua dokumen sudah di map sendiri terus diberi pesan, ini tidak boleh dibuka. Nanti di bandara sudah ada yang akan menerima," lanjutnya.
Ketika berangkat bekerja ke negara tetangga, para buruh migran termasuk Bu Salas saat itu tidak mengetahui apa hak mereka sebagai pekerja.
Baca juga: Melihat Pentingnya Kesetaraan Gender dan Inklusi dalam Industri Film
"Kita semua saat itu tidak tahu apapun hak kita sebagai pekerja migran. Dari berangkat sampai pulang, kita nggak diedukasi sama sekali. Selama di penampungan kita cuma diajari bahasa, memasak, dan kewajiban pekerja migran tanpa diedukasi mengenai hak."
Mulai dari masuk PJTKI hingga sudah berada di negeri orang, Bu Salas dan para buruh migran lainnya harus melalui proses yang penuh tekanan.
"Begitu sampai bandara dan dokumen diserahkan, saya dibawa ke kantor agensi. Sebelum dilepas untuk bekerja dengan majikan di Taiwan, kita harus bekerja dulu di agensi untuk ditest terlebih dahulu. Ya, kita disuruh membersihkan kantor dan menyuguhi staff agensi tanpa diberi uang sama sekali," cerita Bu Salas lagi.
Setelah tiga hari berada di kantor agensi, Bu Salas langsung diantar ke rumah majikannya.
Berharap bisa bekerja dengan tenang, namun yang didapatkan Bu Salas saat itu justru kekerasan.
"Setelah itu saya dibawa ke rumah majikan yang rumahnya tiga lantai. Di situ saya dikasih jadwal kerja. Jam setengah 4 pagi, saya sudah harus bangun tidur, masak, membersihkan rumah tiga lantai, dan saya baru boleh tidur jam 1 malam. Waktu saya libur cuma sehari dalam seminggu. Itu pun saya tetap harus membersihkan rumah tiga lantai dan patung-patung yang biasanya dipakai untuk ibadah. Saya juga tidak boleh keluar rumah. Keluar rumah pun hanya boleh untuk melempar sampah," Cerita pendiri Kampung Buruh Migran tersebut.
Jangankan untuk keluar rumah, Bu Salas bercerita bagaimana majikan pertamanya di Taiwan melarang dirinya untuk beribadah.
"Meski nggak ada mukenah, setiap waktu shalat saya coba beribadah memakai kain jarik pemberian nenek saya. Tapi majikan malah melaporkan saya ke agensi dan bilangnya saya bolak-balik ke kamar terus dan dipikir saya tidur. Akhirnya setiap pagi kamar saya dikunci dan baru dibuka sampai malam," cerita Bu Salas sembari mengusap air mata mengingat kenangan buruk tersebut.
"Saat kamar saya dikunci, saya cuma bisa menangis dan curhat sama Allah SWT di toilet," tambahnya.
Tak hanya mendapat tekanan, sebagai buruh migran, Bu Salas juga kerap mendapatkan kekerasan seksual. (*)