Parapuan.co- Maizidah Salas atau yang akrab disapa Bu Salas menceritakan kepada PARAPUAN mengenai pengalamannya sebagai korban human trafficking
Pada usia 18 tahun, ia sudah harus meninggalkan keluarga dan seorang anak untuk mencari uang.
Perempuan berjilbab itu pernah menjadi pekerja migran di Korea dan Taiwan.
Saat diwawancarai oleh PARAPUAN, Bu Salas membagikan kisah hidupnya menjadi korban human trafficking yang tidak lepas dari kekerasan seksual.
Ia mengawali pembicaraan dengan bercerita soal kekerasan seksual yang pertama kali ia alami di bangku kelas satu SMA.
"Saat kelas satu SMA saya keluar dari sekolah karena menjadi korban pemerkosaan kakak kelas saya yang jadi pengurus OSIS. Saat kegiatan pramuka, saya dijebak katanya ada air terjun yang bagus. Karena saat itu saya masih polos, saya ikutin aja. Sampai di situ, kepala saya dibenturkan ke batu. Lalu saya tidak sadarkan diri. Begitu sadar, kepala saya pusing. Mulut saya sudah diikat pakai dasi pramuka. Rok saya juga sudah terbuka dan celana dalam saya sudah di bawah. Terus saya bertanya-tanya, kok ini ada darah sama santan ya mengalir di baju. Waktu itu saya nggak tahu kalau yang kayak santan itu sperma," cerita Bu Salas.
"Kemudian saya kembali seorang diri sampai ketemu dengan rombongan pramuka. Ternyata teman-teman juga mencari saya kemana-mana. Saya bingung saat itu mau bercerita, karena saya sendiri tidak tahu saat itu saya diapakan," tambah Bu Salas.
Tak hanya diperkosa, Bu Salas bercerita saat itu ia juga mendapat surat ancaman.
"Setelah tiga hari kejadian, saya dikirimi surat kaleng yang isinya itu bahwa saya sudah diperkosa, tidak suci lagi, dan jika dia menginginkan hal itu lagi tapi saya tidak mau melayani, maka dia mengancam akan menyebarluaskan bahwa saya sudah tidak perawan," cerita perempuan asal Wonosobo itu.
Mendapat ancaman tersebut, Bu Salas mengaku sedih dan frustasi terhadap masa depannya.
Baca juga: Maizidah Salas, Penyintas Human Trafficking Pendiri Kampung Buruh Migran
"Saya diperkosa dia beberapa kali karena saya takut ancaman yang dia berikan. Saya hidup di desa dan keluarga yang religius. Sampai akhirnya saya trauma karena berita tersebut menyebar di sekolah. Akhirnya memutuskan untuk tidak sekolah lagi dan kemudian hamil. Kelurga kami bertemu dan saya harus menikah dengan pelaku," cerita Bu Salas yang mulai berlinang air mata.
Setelah menikah, kehidupan Bu Salas tidak membaik.
Ia justru menjadi korban kekerasan mantan suaminya hingga dirinya ingin bunuh diri.
Tak cuma itu, Bu Salas juga memutuskan untuk menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) karena sang mantan suami saat itu kabur entah kemana.
Usai menjadi TKI pun, kehidupan Bu Salas juga tidak lepas dari kekerasan seksual.
Saat dijemput oleh pihak agensi dari rumah majikan kedua di Taiwan, Bu Salas mendapat kekerasan dari pegawai agensi yang ditugaskan untuk menjemput dirinya.
"Waktu naik mobil, saya duduk di belakang. Tiba-tiba saat ditengah jalan pegawai agensi itu bilang "kamu tahu nggak, kamu itu nggak punya sopan santun. Yang duduk di belakang itu harusnya bos besar. Emang saya bos kamu?"," ujar Bu Salas menirukan suara orang agensi tersebut.
"Lalu saya minta maaf dan pindah duduk di depan. Nah, pas di jalan, dia mulai ngomong ngelantur "kamu nanti jangan tidur di shelter agensi ya karena di sana banyak setannya. Nanti tidur di hotel saja, saya temani sampai besok pagi." Lalu tangannya mulai kemana-mana sambil nyetir mobil. Tapi saya menolak. Pada saat dia seperti itu, handphone saya bunyi. Majikan saya tanya, sudah sampai mana. Terus dia seketika langsung nge rem mendadak dan dia menuduh saya mencuri handphone. Akhirya dia telpon majikan perempuan saya, dan majikan perempuan saya membenarkan. Terus dia mau merebut handphone saya dan mulai bersikap kasar ke saya sampai memar. Sampai di agensi, dia berperilaku seolah-olah tidak terjadi apa-apa," sambung Bu Salas yang mulai kembali meneteskan air mata saat menceritakan apa yang dirinya alami dulu.
Kejadian itu bukan satu-satunya kekerasan seksual yang di alami Bu Salas saat menjadi pekerja migran di negara orang.
Baca juga: Cerita Penyintas Human Trafficking Soal Sisi Gelap Proses Perekrutan Buruh Migran
Saat akan dipulangkan oleh agensi secara sepihak, ia memutuskan kabur.
Setelah kabur, ia harus hidup menumpang di tempat teman lalu bekerja tanpa digaji karena gaji diberikan ke pihak agensi hingga dikejar oleh polisi Taiwan.
"Saat itu saya kabur ke sawah dan cuma bawa handphone. Handphone yang saya bawa baterainya habis dan saya nggak bawa charger. Jadi saya cuma bawa handphone dan baju yang menempel saja. Untuk kembali, saya nggak berani karena takut polisinya ada di situ. Terus saya jalan kaki sampai akhirnya ketemu orang Indonesia. Lalu dia menawarkan saya pekerjaan tapi ternyata ada imbalan," cerita perempuan lulusan sarjana Hukum Perdata Universitas Bung Karno ini.
"Kemudian saya bingung mau tidur dimana. Akhirnya saya menghubungi teman saya. Teman saya bilang, kalau dia punya pacar yang berada dekat di pabrik tempat saya bekerja. Akhirnya saya dijemput. Tapi dia membuat syarat "kalau kamu mau tidur di tempat saya, kamu harus tidur sama saya". Akhirnya mau tidak mau, saya menyerahkan tubuh saya. Lalu saat tengah malam saya lapar dan minta makanan ke dia. Terus dia kamar sebelah tempat temannya dan bilang "itu teman saya, punya makanan. Kalau kamu mau makanan, bisa ke kamar dia". Dan hanya untuk makan sesuap nasi saja, syaratnya juga sama, yaitu harus mau ditiduri," lanjut Bu Salas yang mulai menangis menceritakan kejadian ini.
Bahkan untuk mengurus ID Card untuk bekerja di Taiwan, Bu Salas harus mengalami kejadian kekerasan seksual.
"Saat mengurus ID Card untuk bekerja di pabrik, saya harus bayar sebesar 7000NTD (New Taiwan Dollar). Nggak cuma itu, saya harus mau melayani orang yang mengurus ID Card saya karena saat itu saya dikunci di dalam apartemen,"
Setelah kejadian berliku yang dialami Bu Salas, ia akhirnya bertemu dengan seorang perempuan bernama Nurul Khoiriyah.
Melalui Nurul Khoiriyah, ia belajar dan baru mengerti hak-hak para pekerja migran.
Setelah itu Bu Salas tertangkap polisi dan harus kembali ke Indonesia.
Baca juga: Cerita Priyanka Anand Berkarier Sebagai Human Resource di Industri Teknologi
Saat kembali di Indonesia, ia mendirikan ruang aman untuk para pekerja migran.
Di ruang aman tersebut para pekerja migran cerita hal-hal tidak menyenangkan yang pernah mereka alami.
Semakin lama, ruang aman yang dibentuk Bu Salas ini semakin banyak anggotanya.
Bu Salas memberi nama ruang aman tersebut Kampung Buruh Migran.
Selain sebagai ruang aman, di situ para mantan pekerja migran diberi edukasi dan pelatihan kerja
Setelah lumayan lama menjalankan Kampung Buruh Migran, Bu Salas akhirnya meneruskan pendidikan di jurusan Hukum untuk membantu para buruh migran yang terkena masalah.
Kawan Puan, perjalanan kehidupan Bu Salas ini penuh lika liku ya!
Namun semangat Bu Salas untuk memberdayakan sesama dan bangkit dari keterpurukan, patut diacungi jempol. (*)