PP tersebut merupakan peraturan turunan dari Pasal 81A ayat 4 dan Pasal 82A ayat 3 Undang-undang No. 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 2 ayat 1 di PP tersebut, pelaku persetubuhan terhadap anak yang telah memiliki kekuatan hukum tetap bisa dikenakan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.
Sementara itu Pasal 2 ayat 2 menyatakan pelaku perbuatan cabul terhadap anak yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat dikenakan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronok dan rehabilitasi.
Kendati demikian berdasarkan Pasal 4, pelaku persetubuhan atau pencabulan yang masih berstatus anak tak dikenakan tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Teknis pelaksanaan tindakan kebiri kimia diatur dalam Pasal 6. Pasal tersebut menyatakan tindakan kebiri kimia diawali dengan tahapan penilaian klinis.
Menghadiri persidangan, Herry mengenakan rompi tahanan merah dan peci hitam.
Ia datang menggunakan mobil tahanan kejaksaan dan digiring ke ruangan sisida dan dikawal ketat.
"Terdakwa kita hadirkan di persidangan. Seperti disaksikan, dari Rutan kita bawa ke ruang sidang," ujar Kasipenkum Kejati Jabar, Dodi Gazali Emil di PN Bandung.
Baca Juga: Prihatin Kasus Kekerasan Seksual Makin Marak, Susi Pudjiastuti Desak RUU TPKS Disahkan
Sempat mengalami beberapa kendala, Herry dapat dihadirkan di Pengadilan pada pembacaan tuntutan.
"Memang kita akan membacakan tuntutan. Dengan hadirnya terdakwa kita bisa sampaikan tuntutan langsung ke yang bersangkutan. Pak Kajati (Asep N Mulyana) juga mengharapkan terdakwa hadir," katanya.
Sebelumnya, 13 siswa yang menjadi korban rudapaksa Herry Wirawan mengajukan restitusi atau ganti rugi sekitar Rp330 juta.
Angka tersebut didapatkan dari hasil penghitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang.
"Restitusi untuk korban yang dihitung oleh LPSK, totalnya berjumlah hampir Rp330 juta," ujar Dodi Gazali Emil, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (7/1/2022).
Adapun penghitungan yang dilakukan LPSK dilihat dari dampak penderitaan yang dialami korban.
Berdasarkan hasil penghitungan, tiap korban mendapatkan jumlah berbeda.
Afdan V Jova, tenaga ahli dari LPSK menambahkan, ganti rugi para korban mengacu pada peraturan pemerintah nomor 43 tahun 2017 tentang pelaksanaan restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana.
Terdapat tiga komponen jenis-jenis ganti rugi yang dapat dimohonkan.
Ketiga komponen itu yakni ganti kerugian atas kehilangan penghasilan atau kekayaan, penderitaan yang ditimbulkan akibat tindak pidana dan ketiga biaya medis dan psikologis yang timbul akibat proses hukum yang masih berlangsung.
"Tiga poin komponen diajukan para korban yang LPSK hitung nilai kewajaran dan diajukan ke pengadilan," ucapnya.
Baca Juga: Menteri PPPA Dorong Penetapan RUU TPKS Menjadi RUU Inisiatif DPR di Awal 2022
(*)