“Tapi, kalau RUU TPKS ini isinya bisa dengan kesaksian dan ada psikolog juga. Untuk pembuktian bisa dengan psikolog, apakah korban mengalami depresi atau dilakukan hipnoterapi untuk membongkar alam bawah sadar korban agar tahu kapan kejadian itu berlangsung. Jadi tidak harus selalu (bukti) fisik,” jelas Mariana Amiruddin, Wakil Ketua Komnas Perempuan, saat dihubungi PARAPUAN.
Termasuk, keterangan korban atau saksi anak, penyandang disabilitas fisik dan sensorik mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan korban atau saksi lainnya. Maka sistem pembuktian ini pun akan membantu korban untuk menuntut keadilannya.
Lebih dari itu, dalam RUU TPKS ini juga diatur tentang hak atas restitusi dan pendampingan bagi korban dan saksi. Ini pun menjadi kemajuan karena selama ini hak restitusi lebih ditujukan hanya kepada korban tindak pindana perdagangan orang dan anak. Namun kelak, jika RUU ini disahkan, korban kekerasan seksual bisa mendapatkan hak pemulihan kondisi atau penggantian kerugian yang dialami baik secara fisik maupun mental.
Selain itu, pemidanaan kasus kekerasan seksual dilakukan dengan double track system atau sistem dua jalur, yang mana hakim dalam menjatuhkan putusan bisa menggunakan dua jenis sanksi, yaitu sanksi pidana (pokok dan tambahan) dan tindakan berupa rehabilitasi. Rehabilitasi ini dilakukan untuk para pelaku agar mendorong adanya perubahan cara pandang dan perilaku mereka atas kekerasan seksual. Hal ini pun dinilai dibutuhkan, agar setelah mereka disanksi pidana, mereka tidak akan melakukan kesalahan yang sama.
Itulah beberapa keadilan yang dijanjikan oleh RUU ini jika nantinya disahkan. Adapun yang menurut Mariana paling penting dari RUU TPKS ini adalah ketika ada kasus kekerasan seksual bisa tertangani dengan baik, korban dapat didampingi dan dipulihkan secara fisik dan mental, serta pelakunya diberikan efek jera dengan tindak pidana yang pantas.
Mariana pun meyakini bahwa ketika UU ini nantinya ada, secara otomatis akan mengubah budaya. Kelak, masyarakat akan paham bahwa budaya kekerasan seksual, khususnya pada perempuan, itu tidaklah benar. Ini berbahaya bagi kehidupan setiap orang, baik dalam keluarga, sekolah, pekerjaan dan lainnya.
Di sisi lain, anggapan bahwa RUU TPKS hanya melindungi perempuan pun dipatahkan oleh Marianna. “RUU TPKS ini melindungi setiap warga negara Indonesia. Perempuan, laki-laki, muda, tua, dari Sabang sampai Merauke, semuanya!” ujar Marianna mengingatkan. Maka seharusnya RUU ini kelak bermanfaat bagi siapapun yang menjadi korban kekerasan seksual. Pun bukan hanya perempuan saja yang menjadi korban, tapi juga laki-laki yang masih takut untuk mengadukan kejadian.
Bukan tanpa sebab, pasalnya laki-laki justru mendapatkan tekanan sosial yang tak kalah beratnya ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual. Laki-laki dianggap lebih memalukan dan aib ketika mereka jadi korban. “Jadi justru dengan keberadaan UU ini nantinya akan menguntungkan laki-laki juga,” tambah Marianna.
Maka dari itu penting untuk segera mengesahkan RUU TPKS di tengah situasi yang sudah gawat kekerasan seksual. Seperti banyaknya mahasiswi yang dilecehkan oleh dosennya di berbagai daerah, kisah pemuka agama yang memerkosa puluhan santri hingga melahirkan, hingga seorang akademi polisi yang memerkosa kekasihnya dengan mencekoki obat sampai akhirnya ia bunuh diri. Kasus-kasus yang viral ini hanyalah puncak dari gunung es. Di luar sana masih banyak korban-korban kekerasan seksual yang belum mendapatkan keadilan.
Baca Juga: RUU TPKS Jadi Inisiatif DPR, Akan Dibahas Lebih Lanjut Bersama Pemerintah