Parapuan.co - Kasus kekerasan pada perempuan serta anak mengalami peningkatan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Hal ini terkuak melalui catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
"Berdasarkan Simfoni PPA, yakni sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak, sepanjang 2019 sampai 2021, terjadi peningkatan pelaporan kekerasan terhadap perempuan maupun anak," ujar Bintang Puspayoga, Menteri PPPA dalam rapat bersama Komisi VIII DPR, Kamis (20/1/2021), seperti dilansir Kompas.com.
Angka laporan kekerasan pada perempuan terdapat eskalasi kasus dari 8.864 pada 2019, kemudian 8.686 di 2020, menjadi 10.247 kejadian pada 2021.
"Untuk perempuan, paling banyak menyerang fisik," tutur Bintang.
Adapun perinciannya terdiri dari 39 persen kekerasan fisik, 30 persen kekerasan psikis dan kekerasan seksual sebanyak 12 persen.
"Jika berdasarkan tempat kejadian, untuk kekerasan seksual, sebagian besar terjadi di rumah tangga," tambahnya.
Adapun jumlah korban kejahatan pada perempuan juga mengalami kenaikan.
Dari 8.947 orang pada 2019, 8.763 orang di 2020, kemudian melonjak menjadi 10.368 korban di 2021.
Baca Juga: Hal yang Perlu Dilakukan saat Jadi Korban Kekerasan pada Perempuan Revenge Porn
Sementara itu, menurut data dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang terbit pada 5 Maret 2021, memaparkan, pandemi Covid 19 memiliki pengaruh terhadap peningkatan kasus kekerasan pada perempuan.
Lebih lanjut, dijabarkan menurut provinsi, DKI Jakarta menduduki urutan pertama dengan jumlah 2.461 kasus, disusul Jawa Barat 1.011 dan di peringkat ketiga ada Jawa Timur sebesar 687 kasus.
Komnas Perempuan melihat tingginya angka disebabkan karena jumlah lembaga pengadaan layanan (FPL) di ketiga wilayah tersebut, serta kapasitas pendokumentasian lembaga yang mumpuni.
Dalam lampiran tersebut, Komnas Perempuan membuat kategorisasi berdasarkan ranah pribadi, komunitas dan negara, untuk menggambarkan bagaimana kekerasan bisa terjadi di dalam hubungan.
Hal ini bisa terjadi melalui lingkungan dalam berbagai ruang, mulai dari pribadi, pekerjaan atau komunitas, serta publik atau negara.
Hasil survei menunjukkan ranah yang paling berisiko bagi perempuan yakni ranah personal, seperti perkawinan serta hubungan pribadi atau pacaran, dengan persentase sebanyak 79 persen.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, ranah pribadi secara konsisten selalu menempati angka tertinggi.
Tak hanya itu, Komnas perempuan juga melampirkan survei lengkap terkait kejahatan pada perempuan selama masa pandemi Covid 19.
Baca Juga: Hal yang Perlu Dilakukan saat Jadi Korban Kekerasan pada Perempuan Revenge Porn
Menurut survei tersebut, hal ini disebabkan karena banyaknya waktu berkumpul di rumah saat pandemi, sehingga budaya patriarki kembali disandingkan ke perempuan, yakni sebagai penanggungjawab dalam rumah tangga.
Padahal, sebelum pandemi kita bisa lebih leluasa bekerja ke kantor atau sekadar menghabiskan waktu di luar ruangan.
Tugas-tugas itulah yang menjadikan perempuan stres, kelelahan dan berujung mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.
Hal lain dampak pandemi Covid 19 terkait masalah ekonomi, misalnya banyak pekerja laki-laki dihentikan dari pekerjaanya.
Alhasil, laki-laki ikut merasakan krisis maskulinitas, selanjutnya melampiaskannya melalui KDRT.
Bintang mengklaim, semua pengaduan telah direspons berdasarkan asesmen kebutuhan korban.
"Karena artinya masyarakat mulai berani dan percaya untuk membuat laporan pengaduan ke lembaga layanan yang tersedia," pungkas Bintang.
Itu dia alasan mengapa kekerasan pada perempuan mengalami peningkatan selama tiga tahun terakhir, salah satunya dipengaruhi oleh pandemi Covid 19.
Baca Juga: Kenali Faktor Penyebab Kekerasan pada Perempuan Secara Domestik
(*)