Tak hanya Eriyanto, peneliti dari Remotivi yang bernama Muhamad Heychael juga mengatakan alasan lain perempuan jarang bercita-cita sebagai jurnalis.
Menurut Heychael, rendahnya penghargaan terhadap profesi ini dan budaya kerja eksploitatif di industri media juga salah satu penyebabnya.
Apalagi mengingat risiko sebagai jurnalis sangat berat, mulai harus dituntut menayangkan berita terkini, terpapar virus ccovid-19, hingga kematian.
”Kompensasi yang diterima jurnalis tidak sebanding dengan beban dan risiko pekerjaan,” ujar Heychael.
Pandangan perempuan dan laki-laki mengenai profesi jurnalis juga terbagi dua.
Ada yang positif menganggap jika profesi jurnalis sebagai pekerjaan yang memiliki privilese untuk mengunjungi acara tertentu atau bertemu tokoh terkenal.
Selain itu, jurnalis juga dianggap sebagai profesi yang mengedepankan intelektual, idealis, berdampak sosial, dan bergengsi.
Sayangnya, profesi jurnalis tidak mendapat gaji yang sebanding dengan risiko kerjanya.
Tak hanya itu, profesi ini juga dianggap tidak punya jenjang karier yang pasti serta menuntut banyak waktu.
Baca juga: Ternyata Ini Perbedaan dan Persamaan Profesi Wartawan Vs. Jurnalis
Tentu hal ini juga yang menjadi pertimbangan bagi perempuan yang nantinya memilih menjalankan peran sebagi ibu dan wanita karir.
Menurut data yang disampaikan oleh Direktur Remotivi Yovantra Arief, jumlah jurnalis di Indonesia mencapai 14.000 orang, tapi perempuan jurnalis hanya 10 persen di antaranya.
Penelitian tersebut dilakukan terhadap 222 mahasiswa perempuan dan laki-laki di Universitas Diponegoro, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Gadjah Mada.
Hasil menunjukkan 65 persen mahasiswa dan 63 persen mahasiswi tidak menjadikan jurnalis sebagai profesi utama yang akan dijalani setelah kuliah.
Jadi, apakah Kawan Puan tertarik menjadikan jurnalis sebagai profesi? (*)