Pendidikan dan Keluarga
Berdasarkan laman pribadinya, Moorissa menulis bahwa dirinya senang mengeksplorasi masalah menarik dalam bidang artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dan sustainability.
Rupanya, alasan kecintaan Moorissa menekuni dunia STEM (Sains, Teknologi, Teknik/Engineering, Matematika) adalah karena melihat sang ayah.
"Dia seorang insinyur elektrik dan entrepreneur, dan aku bisa ngeliat kalau teknik-teknik insinyur, itu benar-benar fun, penuh tantangan, dan itu aku suka," kisahnya.
Selaras dengan itu, bukan tanpa alasan Moorissa di titik saat ini karena latar belakang perempuan lulusan SMA Pelita Harapan ini pun tak main-main.
Pada 2011, Moorissa yang saat itu baru berusia 16 tahun mendapat beasiswa Wilson and Shannon Technology untuk kuliah di Seattle Central College.
Sayangnya, saat itu dirinya tidak bisa langsung kuliah di institusi besar atau universitas di Amerika, yang memiliki persyaratan umur minimal 18 tahun.
Lantas pada 2012, Moorissa mengambil gelar sarjananya di Jurusan Teknik Industri dan Statistik, di Georgia Institute of Technology, Atlanta.
Baca Juga: Kisah Astriani Dwi Aryaningtyas, Lawan Kanker 7 Tahun hingga Dirikan Pita Tosca
Moorissa tak cuma aktif di kampus tapi juga berprestasi dengan meraih President’s Undergraduate Research Award dan nominasi Helen Grenga untuk insinyur perempuan terbaik di Georgia Tech.
Tidak hanya itu, Moorissa pun menjadi salah satu lulusan termuda di kampus, di umurnya yang baru 19 tahun, dengan predikat Summa Cum Laude.
Lantas, setelah lulus S1 dan bekerja selama 2 tahun, Moorissa melanjutkan pendidikan S2 di Jurusan Data Science di Columbia University, New York.
Moorissa kembali menoreh prestasi dalam beberapa kompetisi, antara lain juara 1 di ajang Columbia Annual Data Science Hackathon dan juara 1 di ajang Columbia Impact Hackathon.
Nah, itulah perjalanan karier sosok Moorissa Tjokro yang menjadi salah satu insinyur perempuan Tanah Air di kancah dunia. (*)