Parapuan.co - Meski ongkos produksi masih tinggi, tetapi metode produksi baja menggunakan hidrogen atau green steel mutlak diperlukan.
Metode produksi ini merupakan transisi keberlanjutan dari Environmental, Social, and Governance (ESG) atau lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Meski begitu, harga hidrogen dalam sepuluh tahun ke depan harganya diperkirakan turun.
Penurunan biaya produksi energi dari sinar matahari dan angin disebut menjadi penyebab mengapa harga hidrogen turun.
Selain itu, bahan bakar yang sampai saat ini dipakai biayanya akan naik karena berbagai disinsentif terhadap penggunaannya akibat mencemari lingkungan.
Green steel mutlak diperlukan bahkan menjadi tren masa depan ini disebutkan oleh Liwa Supriyanti.
Perempuan yang telah berkecimpung di industri baja selama 20 tahun ini menyebutkan bahwa ada indikasi terobosan metode dan percobaan proses produksi.
“Green commitment Gunung Prisma menjadi sandaran dalam menyediakan baja sebagai material,” kata Liwa Supriyanti kepada media.
Liwa Supriyanti merupakan direktur perusahaan dengan lingkup internasional yang telah bekerja sama dengan 25 perusahaan Asia.
Baca Juga: Dubes RI untuk Prancis Angkat Bicara soal Polemik Brand Lokal di Paris Fashion Week
Gunung Prisma disebut ambil bagian untuk meningkatkan kesadaran lingkungan dan upaya transformasi dari bahan bakar fosil ke green steel yang ramah lingkungan pada masa mendatang.
Dalam situs World Economic Forum dipaparkan bagaimana konsumen juga menjadi pendorong keberlanjutan, dalam laporan global oleh The Economist Intelligence Unit oleh WWF.
Pencarian di ranah daring ternyata naik signifikan 71 persen untuk barang-barang berkelanjutan selama 5 tahun terakhir.
Dengan istilah eco-wakening, barang berkelanjutan tidak hanya pada konsumen di negara berpendapatan tinggi, tetapi juga di negara berkembang dan kekuatan ekonomi baru, seperti Indonesia.
Upaya transformasi itu dilaksanakan dengan cara pengetatan emisi karbon. Penerapan tarif atau pajak karbon hingga produsen akan mempertimbangkan penggunaannya juga merupakan langkah nyata soal emisi karbon.
Tingkat Nasional
Upaya yang dilakukan terkait emisi karbon ialah Presiden Joko Widodo yang menandatangani The Economic Value of Carbon.
Penetapan kebijakannya ialah perusahaan yang melebihi batas ini harus membayar 30.000 rupiah ($ 2,09) per ton CO2e untuk pembangkit listrik tenaga batu bara, pada tahap awal implementasinya.
Melalui tujuan untuk menciptakan industri berkelanjutan, pihaknya terus membangun hubungan berdasarkan saling mendukung dan selaras dengan visi utama Gunung Prisma yang mendukung pelestarian lingkungan.
Layaknya gayung bersambut, banyak industri mengevaluasi sistem produksi untuk memastikan pemangkasan emisi karbon secara besar-besaran agar secepatnya mencapai target nol karbon.
Dimulai pada industri otomotif saat Toyota menetapkan pengurangan emisi karbon sebesar 3% pada para pemasok komponen.
Tidak ketinggalan, Volkswagen berniat memastikan semua pabrik mereka di Eropa hanya menggunakan energi terbarukan pada 2023.
(*)
Baca Juga: Pesan Menteri PPPA untuk Hari Perempuan Internasional, Lawan Tabu dan Berani Bersuara