Lewat PEKKA, perempuan berjibab itu ingin mengajari para perempuan di pedesaan agar tidak bergantung kepada bantuan dari program-program yang diberikan Lembaga Swadaya Masyarakat.
"Pas mereka tanya 'kan kita miskin, kok disuruh menabung?', lalu kita tanya balik seperti berapa uang yang ia habiskan untuk biaya jajan anaknya?, berapa dia menghabiskan uang untuk beli gula?, yang kayak gitu itu. Dan menabung nggak perlu dalam bentuk uang juga, bisa dalam bentuk minyak, kelapa, dan lain-lain," tutur Nani.
"Jadi yang ingin PEKKA lakukan di sini adalah merubah pola pikir yang selama ini mindset mereka selalu mencari bantuan," lanjutnya.
Saat ditanya soal hambatan yang pernah dialami PEKKA, Nani tak memungkiri bahwa orang-orang yang mengikuti kegiatan organisasi tersebut, awalnya semakin lama, semakin berkurang.
"Tentu kita pernah tuh ditinggal oleh penerima manfaat. Tapi kita tetap keep organizing. Sampai pada satu titik, tinggal tersisa beberapa orang, kemudian mereka bertahan dan membangun PEKKA," ujar Nani.
Nani juga menceritakan tiga tahun pertama soal kendala yang dialami PEKKA.
"Nah, tiga tahun pertama, perkembangan PEKKA turun naik. Banyak gagalnya daripada berhasilnya. Tapi kemudian, yang bertahan di PEKKA, memiliki koperasi simpan pinjam yang asetnya terus bertambah. Dan itu milik mereka. Lalu ada yang berhasil membangun community language center," cerita lulusan Magister Sosiologi North Carolina Amerika Serikat ini.
Tak hanya memberikan program pemberdayaan ekonomi seperti simpan pinjam, PEKKA juga memiliki beberapa program lainnya.
"Selain kita memberikan program simpan pinjam, melatih cara mengelolanya, juga ada pelatihan usaha. Mereka akan dilatih mengembangkan usaha dan ekonomi produktif. Lalu juga ada kegiatan pendidikan di PEKKA khususnya membangun pelatihan kepercayaan diri, kepemimpinan, dan baca tulis juga. Karena 65 persen perempuan yang ternyata buta huruf," kata Nani.
Baca juga: Nani Zumilnarni, Pendiri Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumah Tangga